Menjelang diadakannya perhelatan peresmian dan perayaan atas berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan pelestarian Buddhasasana yang diprakarsai oleh Asoka Maharaja, para bhikkhu Arahat dan menguasai Abhinna, berkumpul diketuai oleh Moggalliputta Tissa Thera. Mereka membicarakan tentang maksud dewa Mara yang akan datang mengganggu dan menghalangi terlaksananya perhelatan tersebut. Walaupun para bhikkhu itu telah mencapai Kearahatan dan menguasai Abhinna, namun mereka merasa tak seorang pun mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara. Mereka mengetahui dengan mata dewa mereka, hanya seorang bhikkhu yang mampu mengatasi dewa Mara. Dia adalah Kisanaga Upaguta Thera juga disebut Upagupta Thera yang saat itu berdiam di dasar samudera Hindia.
Sang Buddha pernah meramalkan bahwa di masa yang akan datang akan muncul seorang bhikkhu bernama Upagupta yang akan meredam kejahatan dewa Mara dengan kesaktiannya yang membuat Mara sadar akan kesalahannya.
Upagupta Thera adalah seorang bhikkhu yang amat sederhana dan lebih suka tinggal sendiri di tempat-tempat yang hening. Tak suka berkumpul beramai-ramai. Dia suka mengembara di hutan-hutan, juga di samudera.
Bila tinggal di dasar laut, ia akan menciptakan kuti dari kaca, dan tinggal sendiri dengan tenang dalam jhana samapatti berlama-lama.
Tanpa makan dan minum. Hingga badannya amat kurus. Karenanya, ia dinamakan bhikkhu Kisanaga Upagupta.
Pasamuan Sangha memutuskan mengirim dua orang bhikkhu mengundang bhikkhu Upagupta untuk mengatasi gangguan dewa Mara.
Maka dalam sekejap, dua bhikkhu sakti itu telah tiba dihadapan bhikkhu Upagupta. Setelah saling tegur dengan Dhamma patisanthara, bhikkhu utusan itu berkata: “Avuso Upagupta, kami diutus oleh Pasamuan bhikkhu mengundang Anda untuk ikut membantu terlaksananya perhelatan kita. Kami dengar Mara akan datang menggagalkan maksud kami. Sangha menugaskan Anda untuk mengatasi Mara. Kami harap Anda tak menolak tugas ini.”
Bhikkhu Upagupta pun menjawab : “Baiklah Avuso, saya menyanggupi tugas ini. Sekarang silakan Avuso pergi lebih dulu. Saya segera akan menyusul.”
Maka, menghilanglah kedua bhikkhu itu dari hadapan Upagupta Thera dan muncul kembali di tengah-tengah Pesamuan para bhikkhu. Tapi, apa yang mereka lihat? Ternyata bhikkhu Upagupta telah tiba lebih dulu. Duduk dengan tenangnya di hadapan Moggalliputta Tissa Thera.
Keesokan harinya, bhikkhu Upagupta pergi pindapata, menerima dana makanan dari para upasaka-upasika. Kala itu Asoka Maharaja melihat bhikkhu Upagupta yang bertubuh amat kurus, merasa ragu-ragu: “Dewa Mara terkenal amat sakti. Mungkinkah orang sekurus bhikkhu Upagupta itu mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara?” Untuk meyakinkan dirinya, ia ingin menguji kemampuan bhikkhu kurus itu. Maka, dengan segera ia memanggil pengawalnya dan memerintahkan membuat mabuk seekor gajah istana yang besar dan dilepas menghadang perjalanan bhikkhu Upagupta. Sang gajah dengan liar dan ganasnya segera menyerang bhikkhu Upagupta.
Melihat itu, Upagupta Thera segera masuk ke dalam metta jhana dan mengirimkan getaran metta ( cinta kasih ) pada gajah yang sedang mabuk itu, membuat sang gajah tersadar dari keadaan mabuknya. Kembali menjadi gajah istana yang perkasa tapi jinak dan manis. Dengan lembutnya, ia menekuk kaki depannya dan bernamakkara di hadapan Upagupta Thera. Upagupta Thera mengelus kepala si gajah lalu dengan tenang meneruskan perjalanan.
Perhelatan yang konon dilaksanakan selama tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari itu dibuka langsung oleh Maharaja Asoka dengan hati yang tenang karena ia yakin pada kemampuan bhikkhu Upagupta.
Perayaan itu dibuat amat meriah dan mewah. Lampu-lampu hias dan penerangan amatlah indah dan cemerlang. Terutama lilin-lilin, bunga-bunga serta dupa pemujaan di altar Sang Buddha ditata begitu indahnya.
Sabda-sabda Sang Buddha dilantunkan kembali oleh para bhikkhu dengan suara yang teratur dan merdu. Suasana benar-benar sakral dan menyejukkan hati. Rakyatpun amat bersuka hati dengan diadakan keramaian itu. Raja yang dermawan dan bijaksana itu berhasil merebut hati rakyatnya dengan penerapan Dhamma yang benar.
———-
(Pengabdian Asoka Maharaja terhadap Buddhasasana bukan hanya pemugaran candi-candi Buddha di India. Namun, juga mendukung diadakannya Sangayana yang ketiga. Mendukung pengiriman para Dhammaduta ke luar negeri. Yang terkenal diantaranya yaitu, putra-putrinya sendiri, Mahinda Thera dan Sanghamitta Theri yang dikirim ke Sri Langka. Mahinda Thera mengadakan Sangayana disana. Sementara Sanghamitta Theri mendirikan Sangha Bhikkhuni. Dan, Dhammaduta yang diketuai oleh Sona Thera dan Uttara Thera yang menyebarkan Dhamma ke Burma, Thailand dan sekitarnya, sempat mampir ke pulau Jawa sejenak. Namun, karena perjalanan ke tenggara itu amat berat, tak seorang bhikkhuni pun menyertai sebagai Dhammaduta sehingga tidak terdapat Sangha Bhikkhuni di tempat yang dikunjungi Sona Thera dan Uttara Thera).
———–
Namun, perhelatan yang memang telah direncanakan amat meriah dan menarik itu, ternyata masih ditambah dengan suatu pertunjukan seru dan mengerikan yang tak diduga sebelumnya. Membuat suasana semakin meriah. Itu disebabkan oleh ulah dewa Mara yang merasa tak senang atas berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan kini sedang dirayakan. Hatinya merasa gatal melihat kejayaan Buddhasasana.
Dengan segera ia turun dari Sorga Paranimitavasavatti dan menciptakan badai, angin puyuh yang dahsyat menyapu segala perlengkapan perhelatan yang telah diatur sedemikian indah. Melihat itu, Upagupta Thera segera masuk jhana dan ber-adhitthana menghentikan badai dahsyat itu dan mengembalikan segala sesuatu yang telah porak poranda ke tempatnya semula. Dewa Mara terkejut dan merasa terhina demi melihat lawannya hanyalah seorang bhikkhu yang bertubuh amat kurus dan jangkung. Dia merubah diri menjadi seekor kerbau hutan yang amat besar dan ganas. Mengamuk dan merusak barang-barang di sekitarnya. Lalu berlari menubruk hendak melumat tubuh bhikkhu Upagupta.
Sang Thera mengubah diri menjadi seekor harimau yang jauh lebih besar dari kerbau hutan itu. Langsung menerkam dan menangkap si kerbau, membuat si kerbau menguak dan meraung kesakitan. Harimau besar tidak juga melepaskan kerbau yang telah tak berdaya itu, membuat Mara semakin marah dan mengubah diri menjadi seekor naga. Meronta, membebaskan diri dan menyemburkan api beracun menyerang harimau besar. Dengan cepat harimau itu mengubah diri menjadi seekor garuda yang amat besar. Menyambut serangan nagaraja dengan paruhnya yang menganga lebar.
Maka, berlagalah kedua makhluk dahsyat itu dengan serunya. Segala jurus dan usaha dari nagaraja untuk membelit dan menundukkan raja garuda selalu gagal. Dengan lincah dan ligatnya garuda menghindar dan membalas serangan sang naga. Api berbisa yang berkobar-kobar pun seolah-olah bagaikan angin sepoi-sepoi dirasakan garuda.
Akhirnya, sang garuda berhasil menangkap leher naga dengan paruhnya. Diterkamnya tubuh sang naga dengan cakarnya yang besar dan tajam serta dibawa terbang ke udara. Dalam keadaan yang tak berdaya, badan sang naga terombang-ambing di udara lalu dihempaskan kembali ke bumi. Mara semakin gusar dengan kekalahan yang membawa siksa ini.
Ia segera mengubah diri menjadi raksasa yang amat besar dengan taring yang mengerikan. Tangan kanannya menggenggam gada pemukul sebesar pohon kelapa. Meraung-raung menyerang garuda. Namun, garuda pun segera berubah menjadi raksasa pula. Badannya lebih besar dan kedua tangannya memegang gada pemukul pula. Menyambut serangan raksasa Mara. Saling serang, saling mengelak. Bumi pun berdentam-dentam akibat hempasan kaki kedua raksasa. Pukulan-pukulan raksasa Mara sering tidak mengenai sasaran bahkan kalau mengena pun seolah tak dirasa oleh raksasa ciptaan Sang Thera. Namun, pukulan raksasa ciptaan Sang Thera terasa amat menyakitkan di tubuh maupun hati raksasa Mara. Tubuhnya terasa remuk redam dan hatinya pun merasa amat sakit dan pilu menerima setiap pukulan yang mengena.
Dewa Mara teringat saat bersama pasukannya menyerang Sang Buddha. Semua senjata yang dilontarkan menyerang tubuh Buddha Gotama berubah menjadi rangkaian besar bunga yang indah memayungi Sang Buddha. Pasukannya mundur tersapu badai. Sang Buddha membalas serangan-serangan dahsyat Mara dengan metta. Beliau sama sekali tidak membalas serangan dengan siksaan seperti yang diterimanya sekarang. Bhikkhu Upagupta – murid Sang Buddha itu – telah membuatnya benar-benar tak berdaya dan tersiksa. Tubuhnya kembali menjadi dewa Mara, terpuruk lemas di hadapan Sang Thera yang berdiri dengan tenangnya.
Sebenarnya, ia ingin mengerang dan merintih karena rasa sakit di sekujur tubuhnya. Namun, perasaan angkuh yang masih menguasai dirinya membuatnya bungkam seribu basa. Rupanya, penderitaan yang dialaminya itu belum mampu menghancurkan kesombongan dan keangkuhan yang selama ini menjadi kebanggaannya. Dengan pasrah ia menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya pada dirinya, karena memang tak mampu berbuat selain dari itu.
Dengan kesaktiannya, Upagupta Thera menciptakan bangkai anjing yang telah berbau sangat busuk dan berulat. Lalu dikalung-kan pada leher dewa Mara serta ber-adhitthana : “Tak seorang pun, dewa bahkan brahma yang mampu melepas bangkai anjing ini dari lehermu.”
Dewa Mara pun amat terkejut mendengarnya. Kesombongan dan keangkuhan kembali mengendalikan batinnya. Dengan marahnya ia terbang mencari pertolongan pada dewa Catumaharajika. Namun, dewa-dewa Catumaharajika hanya bisa menjawab: “Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.”
Begitupun ketika minta pertolongan pada dewa-dewa yang lebih tinggi dari dewa-dewa Catumaharajika, seperti Yamadhiraja dan lain-lain.
Mereka menjawab: “Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.”
Mendengar jawaban itu, ia tak segera putus asa. Ia terbang menemui dewa Brahma bahkan Maha Brahma untuk minta pertolongan melepas bangkai anjing yang menjijikkan itu dari lehernya.
“Wahai Maha Brahma yang sakti dan baik hati, tolong lepaskan bangkai anjing ini dari leher saya. Bangkai anjing ini semakin lama semakin busuk saja.”
“Sayang sekali, dewa Mara. Bukannya kami tak mau menolong Anda. Tapi, sebenarnyalah, tak seorang pun dewa atau Brahma di tiga alam ini yang mampu melepas bangkai yang menghiasi leher Anda itu. Hanya ada satu orang yang mampu melakukannya.”
“Katakanlah Tuan, siapa yang mampu melakukannya?” tanya dewa Mara penuh harap. Tapi, jawaban Maha Brahma membuatnya berkecil hati kembali.
“Dia adalah Upagupta Thera, Buddhasavaka yang telah mencapai Kearahatan dan mempunyai Chalabhinna.”
“Murid Gotama itu telah menyiksaku. Tolong nasehatkan padaku, apakah aku harus merengek-rengek padanya? Maha Brahma, saya merasa keberatan berhadapan muka dengannya. Hendak ditaruh dimanakah muka saya ini?”
“Wahai dewa Mara. Kami nasehatkan, kembalilah padanya. Sang Thera adalah seorang yang penuh metta seperti Buddha Gotama gurunya. Atau Anda menunggu hingga Sang Thera Parinibbana? Lalu, siapa pula yang mampu melepas bangkai itu dari leher Anda? Apakah Anda menghendaki perhiasan itu selama hidup Anda?”
Maka, dewa Mara pun berpikir : “Baiklah! Kalau memang hanya bhikkhu itu yang mampu melepaskannya, aku akan pergi padanya. Bila telah terbebas dari bangkai menjijikkan ini, aku akan pergi dan tak ingin melihat mukanya lagi.”
Setelah berpamitan, maka ia kembali ke dunia menemui bhikkhu Upagupta.
Bhikkhu Upagupta duduk samadhi di kaki gunung Himalaya, seolah sedang menunggu kedatangan dewa Mara. Dewa Mara duduk di hadapan Sang Thera, menunggu dengan tertibnya.
“Dewa yang baik, kau telah kembali rupanya. Kemana saja selama ini?” tegur Sang Thera. Mendengar pertanyaan ini, makin guguplah ia, seperti seorang anak nakal yang ditegur ayahnya.
“Bhante, lepaskanlah bangkai ini dari leher saya.” Hanya itu yang diucapkannya. Sang Thera pun tahu bahwa dewa sakti itu masih tetap dikuasai kesombongan dan keangkuhan.
Bhikkhu Upagupta berdiri. Melolos ikat pinggangnya serta melemparkannya pada dewa Mara. Ikat pinggang itu memanjang di udara, jatuh tepat di tubuh dewa Màra, membelit, mengikat tubuh dewa Mara. Tubuh yang telah terikat erat dan tak bisa berkutik itu dijinjing oleh Sang Thera, dibawa terbang menuju puncak gunung Himalaya.
“Lebih baik kau beristirahat di sini selama perhelatan yang diadakan Asoka Maharaja berlangsung. Dengan begini, kau tak bisa mengganggunya”, kata bhikkhu Upagupta sambil mengikat tubuh dewa Mara pada puncak Himalaya. Dan Sang Thera pun beradhitthana : “Tak seorang pun, dewa bahkan Brahma yang akan mampu melepaskanmu.” Dan ditinggalnya Mara terikat sendirian di atas sana selama tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari. Alangkah menderitanya dewa malang itu. Ia hanya bisa mengerang, mengeluh dan meronta tanpa bisa melepaskan diri.
*
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan pun berganti tahun. Akhirnya, tiba pula saatnya perayaan meriah itu paripurna. Bhikkhu Upagupta pergi ke tempat dewa Mara terikat sedang merenungi dan meratapi nasibnya tanpa bisa dilihat oleh dewa Mara. Sang Thera sengaja tak menampakkan diri agar bisa tahu apakah dewa Mara telah jera atau belum.
Mara yang tahu bahwa hari itu adalah hari berakhirnya perhelatan besar, yang berarti akan terbebaskannya dirinya dari derita setelah tujuh tahun lebih harus berkalungkan bangkai anjing busuk dan badan terikat erat tak bisa beranjak kemana pun.
Baru kali ini dia punya kesempatan merenungkan semua tindakan dan tingkah laku yang salah di masa lalu. Dalam keadaan tak berdaya, batinnya bisa berpikir dengan jernih. Bukan dia yang terhebat di dunia ini!
Dia teringat, karena pikiran usilnya, mengganggu Buddha Gotama yang tak pernah berbuat salah padanya, dengan segala macam cara. Sammasambuddha Gotama yang telah mencapai kesucian tertinggi, terbebas dari nafsu, dia umpan dengan anak-anak gadisnya yang cantik menggairahkan.
Sammasambuddha Gotama yang menguasai segala kesaktian, dia serang dengan kekuatan penuh, dengan pasukan dan senjata lengkap. Sang Buddha mengalahkannya tanpa menyakitinya, tanpa menyiksanya. Keusilannya belum cukup sampai di situ. Kemudian, ia meminta Buddha Gotama untuk segera memasuki Parinibbana. Begitupun ketika Buddhasasana, karya Sang Buddha berjaya, iapun merasa tak senang. Sang Buddha tak pernah mempunyai urusan dengannya. Buddhasasana pun tak pernah menyusahkannya. Tapi, kenapa pula ia mencari perkara terhadap orang yang tak bersalah. Kenapa pula ia usil terhadap orang yang tak pernah mengusilinya.
Dan kini, karena ulahnya itu, ia terkena batunya. Ia harus tersiksa karenanya. Murid Buddha Gotama yang muncul dua ratus tahun setelah Sang Buddha Parinibbana itu telah memberinya pelajaran yang amat berharga, walau terasa amat pahit. Membuat mata hatinya terbuka lebar. Membuatnya sadar, betapa jahatnya dirinya, betapa usilnya dirinya, betapa bodohnya dirinya.
Mengingat itu semua, dia merasa amat malu pada dunia. Dia merasa amat malu pada Buddha Gotama. Dia merasa amat malu pada bhikkhu Upagupta. Dan lebih dari itu semua, ia merasa amat malu pada diri sendiri. Dia menyesali diri sendiri yang telah buta terhadap kebaikan. Mengabaikan kesempatan yang amat langka.
Akhirnya, ia merasa amat marah terhadap dirinya sendiri. Giginya mengatup, menggeretak. Dengan geram ia meronta. Dihentakkannya kakinya beberapa kali ke tanah. Bumi pun berguncang. Salju pun pecah bertebaran, berserakan menggelinding ke bawah mengikuti aliran sungai Gangga.
Setelah melampiaskan kemarahan yang mengganjal di dada, Dewa Mara merasa lilih, tenang. Pikirannya menjadi semakin jernih.
“Alangkah beruntungnya aku bertemu dengan bhikkhu Upagupta yang mampu menyadarkan diriku. Apa yang terjadi bila tak seorang pun mampu mengajarku. Tentu aku akan tetap tersesat pada kejahatan. Tapi, akan lebih baik lagi bila aku mampu mencapai pencerahan sebagai Sammasambuddha yang penuh welas asih, sebagai pelindung dan guru dari semua makhluk”, pikirnya.
Maka, di kesunyian puncak Himalaya yang amat dingin dan penuh salju, dengan lantangnya dewa Mara, penguasa sorga Paranimmitavasavatti itu, ber-adhitthana : “Wahai alam semesta dan seisinya, saksikanlah, aku, Maradhiraja penguasa sorga Paranimmittavasavatti, sejak saat ini, menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, bertekad akan berusaha menyempurnakan parami untuk mencapai penerangan sempurna sebagai Sammasambuddha, pelindung dan guru bagi semua makhluk.” Sesudah menguncarkan adhitthana itu, batinnya dipenuhi oleh ketenangan dan kebahagiaan. Ketenangan dan kebahagiaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Tiba-tiba, muncullah Upagupta Thera di hadapannya. Dengan malu-malu dewa Mara menegur Sang Thera: “Bhante, berarti sejak tadi Bhante telah berada di sekitar tempat ini.”
“Benar, dewa yang baik. Saya tahu apa yang Anda perbuat dan mendengar apa yang Anda katakan. Maka dari itu, ijinkan saya menyampaikan hormat saya pada Anda, seorang Bodhisatta.”
“Tapi, Bhante dengan begitu kejamnya telah menyiksa saya. Saya tak ingin menjadi seorang Arahat seperti Bhante, karena saya tak ingin ada orang tersiksa seperti saya. Saya ingin menjadi Sammasambuddha yang penuh welas asih.”
Dengan tersenyum geli, Upagupta Thera berkata: “Dewa yang baik, janganlah Anda mendendam pada saya. Karena kamma kita di masa lampau, kita berdua harus sering bertemu dan saling menyakiti. Tapi, dalam kehidupan ini, sayalah yang menang dan berhasil mengingatkan Anda kembali ke jalan yang benar. Itu tugas akhir saya terhadap Anda. Bukankah kita tak akan bertemu lagi pada kehidupan yang akan datang? Karenanya, harap Anda memaafkan saya bila Anda merasa tersiksa karenanya. Jadi, bukan karena saya tak mempunyai welas asih. Tapi, semata-mata karena kewajiban yang harus saya lakukan.”
“Bhante benar. Tak ada lagi hutang piutang diantara kita. Saya merasa amat berterima kasih pada Bhante yang telah menolong saya untuk kembali ke jalan yang benar. Dan Bhante …, telah terlalu lama saya menderita begini. Tolong bebaskanlah saya sekarang. Saya telah rindu pada kebahagiaan sorgawi di istana saya”, pintanya.
Bhikkhu Upagupta memejamkam mata sejenak, sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada. Maka, terurailah ikat pinggang yang membelit tubuh dewa Mara, melayang di udara, menjadi pendek seperti semula dan jatuh tepat di tangan Sang Thera. Bangkai anjing di leher Mara pun lenyap seketika.
Dewa Mara menarik napas dengan lega. Dia merasa amat kagum pada kesaktian Sang Thera, murid Sang Buddha. Kalau muridnya saja begitu sakti, bagaimana pula dengan Sang Buddha. “Sebelum Anda kembali ke tempat Anda, bolehkah saya meminta sesuatu pada Anda?” tanya Upagupta Thera setelah membebaskan dewa Mara.
“Tentu, Bhante. Apakah yang harus saya perbuat untuk Bhante?”
“Wahai dewa Mara. Dalam satu hal, saya merasa kurang beruntung. Saya dilahirkan jauh sesudah Sang Tathagata parinibbana. Karenanya, saya tak pernah bertemu dan melihat langsung bagaimanakah rupa dari Guru saya tersebut. Dalam hal ini Anda lebih beruntung dari pada saya. Anda pernah bertemu dan melihat langsung Sang Buddha. Saya harap Anda mau mengubah diri Anda menjadi Sang Buddha agar saya dapat melihat bagaimanakah Guru saya itu. Itulah permintaan saya.”
“Baiklah, Bhante. Tapi, dengan satu syarat yang harus Bhante penuhi. Bila saya telah mengubah diri menjadi Sang Buddha, janganlah Bhante namakkara pada saya. Saya tak sanggup lagi menerima buah kamma buruk karenanya”, kata Mara penuh kekhawatiran.
“Baiklah”, jawab Sang Thera.
Maka, Mara mengubah diri menjadi Buddha Gotama, lengkap dengan Mahapurisalakkhana (tiga puluh dua ciri-ciri Kebuddhaan). Berjalan dengan anggunnya diiringi oleh Asitimahasavaka (delapan puluh murid-murid utama).
Setelah cukup lama memperhatikan dengan seksama, dengan penuh hormat,
Upagupta Thera melakukan namakkara di hadapan Sang Buddha.
Dengan segera lenyaplah pemandangan Sang Buddha beserta murid-muridnya, berganti dengan dewa Mara yang sedang berdiri dengan muka cemberut memandang Sang Thera.
“Mengapa Bhante mengingkari janji? Mengapa Bhante namakkara pada saya?
Lalu, buah kamma apa lagi yang akan saya terima karenanya? Dulu saya telah banyak berbuat jahat pada Sang Buddha. Dan saya harus tersiksa dengan badan terikat di puncak Himalaya ini”, kata Mara dengan penuh kecemasan.
“Janganlah anda cemas. Saya tak mengingkari janji. Bhikkhu Upagupta tidak melakukan namakkara pada dewa Mara. Saya melakukan namakkara pada Sang Buddha, guru saya. Hal itu sama sekali tak berpengaruh pada anda. Anda tidak akan menerima akibat buruk karenanya. Terima kasih atas kebaikan anda. Kini, silakan kembali ke tempat Anda di sorga Paranimmitavasavatti. Sayapun akan kembali ke senasana saya di laut selatan. Selamat tinggal, dewa Mara.” Maka lenyaplah Sang Thera dari pandangan dewa Mara.
Dewa Mara pun segera kembali ke sorga Paranimmitavasavatti, tingkatan sorga yang tertinggi di antara sorga para dewa.
Kini, Maradhiraja yang biasa dikenal sebagai dewa Mara, masih bertinggal di sorga Paranimmitavasavatti sebagai seorang Bodhisatta yang sedang menghimpun Dasaparami. Kelak, di kappa yang akan datang, dewa Mara akan berhasil mencapai penerangan sempurna sebagai seorang Sammasambuddha. Sebagai satu-satunya Sammasambuddha di kappa tersebut. Akan disebut Sammasambuddha Dhammasami, yang mempunyai amat banyak murid yang berhasil mencapai kesucian.Kappa dimana kini kita hidup, mempunyai paling banyak Sammasambuddha, yaitu lima orang Sammasambuddha.**
(sadur dari blok Buddha Society)