1. Pendahuluan
Departemen Perindustrian (Deperin) bersama Asosiasi Piranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki), tahun 2008 akan mengeluarkan Kematangan Industri Perangkat lunak Indonesia (KIPI) versi 1.0. CMM versi Indonesia ini diharapkan dapat menjadi standar Indonesia dalam meningkatkan proses pengembangan perangkat lunak bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia. Menurut Ketua Asosiasi Pengembang Perangkat Lunak Indonesia (Aspiluki) Djarot Subiantoro, pertimbangan itu diambil bersama Deperin karena untuk meraih sertifikasi CMM Internasional perusahaan lokal perlu mengeluarkan biaya besar dan memakan waktu lama. Sementara itu, kualitas dan ketersediaan infrastruktur untuk lingkungan bisnis software masih di tingkat dasar. Saat ini secara nasional terdapat 250 perusahaan pengembang software/ ISV (Independent Software Vendor) dan akan terus berkembangan hingga mencapai 500 dalam lima tahun kedapan, di mana untuk merebut pasar yang lebih luas perlu mengadopsi standar CMM yang saat ini baru dimiliki dua perusahaan dan yang tertinggi baru pada tingkat III yang sertifikasinya diberikan organisasi yang diotorisasi Software Engineer Institute (SEI).
Berbicara masalah pangsa pasar software, salah seorang pakar di bidang informasi teknologi, Romi Satrio Wahono mengatakan bahwa dari sekitar Rp. 600 miliar pasar software, jatah untuk software lokal hanya sekitar Rp. 100 miliar. Hal ini dikarenakan software lokal tidak mampu bersaing dengan software asing. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya antara lain :
- Keterbatasan pengetahuan dalam software development, sehingga begitu software diukur dari seluruh proses pengembangan akan kedodoran dan kalah bersaing.
- Kurangnya ide dalam produk dan inovasi, hal ini berhubungan dengan kurangnya sarana penghubung dengan pihak yang membutuhkan software. Kebutuhan mungkin ada, tetapi antara yang membutuhkan dan pengembang tidak bertemu. Perusahaan asing kebanyakan memiliki expert khusus untuk membaca kebutuhan pasar dan bergerak mencari pasar, serta membuat sarana koneksi bagi pihak yang membutuhkan dan pihak yang mengembangkan.
- Kurangnya keterlibatan pemerintah untuk melindungi pengembang software lokal. Seperti di Jepang, dimana pemerintahannya mendukung penuh software lokal officenya, sehingga secara defacto menguasai pasar aplikasi office disana.
- Keterbatasan modal usaha. Ini berhubungan dengan perusahaan software rata-rata tidak bankable, banyak yang berumur muda, tidak memiliki aset nyata yang bisa digunakan sebagai agunan pinjaman ke bank. Akhirnya dalam projek-projek besar, software house kita banyak bertumbangan karena banyak projek yang berbasis ke kualifikasi perusahaan.
Sedangkan untuk prospek kedepan hasil riset IDC menunjukkan, dalam periode 2004 hingga 2009 sektor teknologi informasi (TI) di Indonesia akan membutuhkan sekitar 1.100 perusahaan TI baru yang dapat menyerap 81.000 tenaga kerja. Sekitar 29.9 persen dari total pekerja TI ini akan terlibat dalam membuat produk software lokal, mendistribusikan produk asing dan memberi layanan custom development. IDC juga memprediksi perkembangan bisnis TI di Indonesia akan memberikan penghasilan pajak sebesar 1.1 miliar dollar AS kepada pemerintah jika dikelola dengan serius. Ini merupakan kesempatan baik untuk dijadikan motivasi untuk menumbuhkan semangat pengembangan software lokal di Indonesia. Pasar sudah ada, tinggal bagaimana strategi untuk meraihnya.
Disamping peluang ada 2 level tantangan yang dihadapi oleh industri software di Indonesia, menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Komunikasi dan Informasi. Ke 2 tantangan tersebut adalah :
• Tantangan di level Industi
Pada level ini tantangan yang dihadapi, antara lain :
- Kemudahan yang dialami pelaku-pelaku industri lokal dalam hal pengembangan dan penyebaran software juga dialami oleh pelaku-pelaku industri software dari negara-negara lain. Sehingga secara kemudahan tersebut relatif tidak memberikan keunggulan kompetitif terhadap pelaku industri software lokal. Bahkan, pada segmen-segmen pasar dengan produk generik, peluang industri lokal sangat kecil, karena pangsa pasar bisa dipenuhi oleh perusahaan multinasional yang sudah menguasai pasar terlebih dahulu.
- Software merupakan produk yang sangat kompleks, di mana pasar tidak bisa mudah menilai tawaran software dari perusahaan baru. Tuntutan pasar terhadap reputasi dan brand (merek) menjadi rintangan tersendiri bagi pengembang-pengembang software lokal untuk masuk ke segmen pasar yang lebih tinggi, yang sementara ini dikuasai oleh pemain-pemain asing, menjadi lebih sulit. Apa lagi untuk aplikasi yang mission critical, kebanyakan pasar nasional lebih mengandalkan pada vendor-vendor asing yang sudah punya nama.
- Industri software telah memberikan kesempatan pada banyak pelaku industri lokal. Untuk melayani segmen pasar terbawah, industri software memiliki rintangan masuk (barrier to entry) yang rendah. Ini ditunjukkan kebanyakan perusahaan software lokal melayani segmen pasar ini. Namun, karena persaingan di sini sangat tinggi, dan pemain-pemain baru terus bermunculan dan bersedia dibayar lebih rendah dari pemain lama, maka pemain lama yang tidak bisa tumbuh, tidak bisa melayani segmen pasar yang lebih tinggi, akan tersisih dari industri.
• Tantangan di level Organisasi
Industri software merupakan industri baru, yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan industri manufaktur. Pengalaman keberhasilan di industri manufaktur tidak bisa ditiru untuk membesarkan bisnis software. Perbedaan ini menimbulkan persoalan-persoalan di level organisasi sebagai berikut:
- Banyak orang meyakini bahwa untuk memulai usaha di bidang software relatif mudah dan murah dilakukan, karena tidak ada ketergantungan pada barang-barang modal yang mahal. Ini ditunjukkan dengan banyaknya orang-orang muda yang baru lulus universitas, bahkan juga yang belum lulus, mendirikan perusahaan software. Kemudahan ini dipercaya siapa saja, termasuk orang-orang yang bekerja di perusahaan software, sehingga mereka bisa merasa mudah untuk keluar dan mendirikan perusahaan baru. Akibatnya yang terjadi adalah kebanyakan perusahaan software tidak tumbuh, tidak mampu menjaga programer-programer yang senior untuk pergi dan mendirikan usaha sendiri atau pindah ke perusahaan lain. Karena itu yang perlu dicari oleh perusahaan software lokal adalah mencari sistem insentif yang tepat, untuk menjaga loyalitas karyawannya.
- Produksi software tidak tergantung pada mesin, sehingga proses produksinya tidak bisa disandarkan pada sesuatu yang yang berwujud (tangibel), seperti mesin-mesin produksi. Pengembangan software secara bersama menuntut kemampuan membagi dan menata kerja yang lebih rumit, karena produknya bukan benda. Banyak perusahaan software lokal hanya mampu menyelesaikan pengembangan software-software dengan tim-tim kecil, karena rumitnya mengelola tim besar dalam produksi software.
Terkait dengan penerapan KIPI versi 1.0, dimana sosialisasi telah mulai dilakukan, ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan : pertama sudah sejauh mana tingkat kesiapan badan (lembaga) pelaksana KIPI ini ?, karena bila melihat tugas yang akan dilakukan sangat berat sekali, antara lain : (1) membangun dan membina hubungan dengan mitra yang akan membantu dalam pelaksanaan pelatihan dan/atau pelaksanaan appraisal, (2) melaksanakan ujian dan memberikan sertifikat ketua penilai/lead appraisal KIPI kepada perorangan, (3) melaksanakan ujian dan memberikan sertifikat pelatihan kepada mitra sehingga dapat memberikan pelatihan KIPI, (4) menerima data hasil penilaian dari tim appraisal untuk dikaji dan kemudian memberikan sertifikat hasil appraisal kepada perusahaan pengembang perangkat lunak yang dinilai, (5) membuat materi pelatihan KIPI dan melakukan pembaharuan sesuai dengan kebutuhan. Tugas-tugas tersebut memerlukan koordinasi dan tanggung jawab yang besar di dalam pelaksanakan pelatihan dan pemberian sertifikat dari hasil penilaian dan pengkajian. Seperti diketahui untuk hal yang menyangkut “koordinasi dan kewenangan” masih menjadi masalah di Indonesia, terutama menyangkut birokrasi dan transparansi. Kedua adalah bagaimana mengusahakan agar KIPI diminati oleh organisasi perangkat lunak Indonesia ?. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dari 250 organisasi pengembang software Indonesia, hanya ada dua yang memiliki sertifikat CMM, lalu bagaimana dengan KIPI, apakah nasibnya sama dengan CMM ?, dimana hanya diminati oleh bebearapa organisasi pengembang perangkat lunak di Indonesia.
Oleh karena itu, terkait dengan masalah bagaimana agar KIPI diminati oleh para organisasi pengembang perangkat lunak, maka perlu beberapa strategi yang harus dilakukan. Dan ini akan dibahas lebih lanjut di dalam makalah ini.
2. Sekilas CMM versi Indonesia (KIPI)
KIPI merupakan standar yang diadopsi dari CMMI versi 1.0, digunakan untuk menilai tingkat kematangan pengembang perangkat lunak di Indonesia. Latar belakang yang mendasari pembentukan KIPI adalah :
• Mendorong industri perangkat lunak di Indonesia untuk meningkatkan kinerja perusahaannya
• Model yang ada saat ini tidak semuanya cocok untuk karakteristik industri perangakat lunak di Indonesia karena masalah jumlah pegawai dan biaya sertifikasi yang mahal dari CMM/CMMI
• Untuk meningkatkan daya saing nasional di pasaran global.
Dengan adanya standar ini diharapkan perusahaan perangkat lunak ::
- Dapat meningkatkan kualitas terhadap berbagai proses yang ada di dalam perusahaan
- Terbentuknya visi yang sama terhadap semua elemen yang ada dalam perusahaan, sehingga meningkatkan kualitas dan memperlancar komunikasi dalam berbagai lapisan dalam struktur organisasi perusahaan
- Dapat meningkatkan efisiensi biaya dan waktu
Inovasi yang dilakukan pada KIPI versi 1.0 ini adalah memecah level CMM dari 5 menjadi 10, pertimbangannya adalah karena pemain industri perangkat lunak dalam negeri mayoritas terdiri dari perusahaan-perusahaan kecil. Dengan pembagian 10 level diharapkan bisa memetakan kematangan perusahaan-perusahaan lebih akurat. Disamping itu juga dengan level yang banyak diharapkan perusahaan-perusahaan kecil dapat lebih terpacu untuk naik tingkat dalam waktu yang lebih singkat ketimbang 5 level tapi butuh waktu dan biaya yang lebih besar dan lama.
Standar KIPI versi1.0 terdiri dari 22 area proses dengan rincian sebagai berikut :
- Level 1. merupakan level persiapan, dimana proses pengembangan perangkat lunak dilakukan dengan cara adhoc dan hasilnya tidak dapat diprediksi.
- Level 2 merupakan level awal, pada level ini terdapat 4 key practice Area (KPA) yang harus dipenuhi, antara lain :
o Menajemen kebutuhan
o Perencanaan proyek
o Pengawasan dan kontrol proyek
o Manajemen konigurasi.
- Level 3 merupakan level pengulangan, dimana terdapat 3 KPA, antara lain :
o Menajemen perjanjian penyaluran
o Jaminan mutu kualitas produk dan proses
o Penilaian dan analisa.
- Level 4 merupakan level terdifinisi, disini terdapat 2 KPA, antara lain :
o Manajemen proyek terintegrasi
o Manajemen resiko.
- Level 5 merupakan level terencana, dimana terdapat 2 KPA, terdiri atas :
o Definisi proses organisasi
o Pelatihan organisasi.
- Level 6 merupakan level terorganisasi dengan 2 KPA, meliputi :
o Fokus proses organisasi
o Analisis keputusan dan resolusi.
- Level 7 merupakan level terintegrasi dengan 2 KPA, meliputi :
o Integrasi produk
o Pengembangan kebutuhan.
- Level 8 merupakan level teruji dengan 3 KPA, meliputi :
o Solusi teknis
o Validasi
o Verifikasi.
- Level 9 merupakan level terkelola dengan 2 KPA, meliputi :
o Menajemen penyebab dan resolusi
o Pengembangan proses organisasi.
- Level 10 merupakan level optimal dengan 2 KPA, meliputi :
o Analisa penyebab dan resolusi
o Pengembangan dan inovasi organisasi.
3. Minim Sertifikat CMM/CMMI
CMM (Capability Maturity Model)/ Integration dikembangkan pertama kali oleh SEI (Software Engineering Institute) yang berbasis di Carnegie Mellon University in Pittsburgh berdasarkan pesanan dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat. CMM dikembangkan sebagai alat ukur dalam menguji para calon kontraktor yang akan direkrut oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat dalam melaksanakan kontrak pekerjaan pengembangan aplikasi perangkat lunak komputer di lembaga tersebut.
Jika disetarakan dengan standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Internasional (ISO), maka CMM dapat disetarakan dengan ISO 9001 (bagian dari seri ISO 9000). Dimana ISO 9000 adalah standar yang ditetapkan bagi industri jasa dan manufaktur dari sisi sistem kendali mutu yang efektif. Sedangkan ISO 9001 diperuntukkan secara khusus sebagai standar dalam pengembangan dan pemeliharaan aplikasi perangkat lunak. Perbedaan yang cukup mendasar antara CMM dan ISO 9001 adalah pada fokus item pengujian atas sebuah proyek pengembangan aplikasi perangkat lunak komputer. ISO 9001 lebih fokus pada standar minimum yang wajib dipenuhi dalam proses pengembangan software yang berkualitas. Sedangkan CMM dikembangkan sebagai framework yang dapat digunakan secara berkelanjutan dalam peningkatan proses dibandingkan hanya sekedar menetapkan standar minimum yang harus dipenuhi dalam memenuhi sebuah software yang berkualitas.
Secara sederhana, CMM dapat diibaratkan sebagai tolok-ukur dalam menentukan tingkat “kematangan” sebuah aplikasi perangkat lunak komputer. “Tingkat Kematangan” disini berarti semakin tinggi levelnya maka semakin baik kemampuan setiap elemen organisasi dalam mengembangkan dan mengelola softwarenya. Level disini didasarkan pada standar yang ditetapkan oleh CMM yang terdiri atas 5 (lima) tingkatan, yaitu : initial, repeatable, defined, managable, optimizing, kecuali tingkat initial, setiap tingkatan mempunyai beberapa key process area (KPA) yaitu bidang yang harus menjadi perhatian sebuah organisasi untuk meningkatkan proses dalam pengembangan perangkat lunaknya.
Secara umum, standar CMM tingkat II mempersyaratkan standar proses
pengembangan software, di tingkat berikutnya ISV disyaratkan kemampuan
melaksanakan proses atau prosedur secara konsisten. Di tingkat IV, ISV harus mampu dalam pengembangan dan menggunakannya secara konsisten, baru di tingkat V, ISV harus mampu meningkatkan kualitas dan kemampuan organisasi serta semua potensinya.
Terkait dengan sertifikasi standar internasional yang dimiliki oleh perusahaan perangkat lunak Indonesia, khususnya sertifikat CMM/CMMI, jumlahnya sangat minim sekali, dimana dari 250 perusahaan hanya 2 perusahaan atau sekitar 0.8%. Kondisi ini tentu saja memperhatikan bila dibandingkan dengan India, dimana dari 80 perusahaan yang bersertifikat CMM level 5 di dunia, 60 diantaranya berada di negara India. Artinya 75% CMM level 5 berada di negara India.
Bila melihat kondisi di atas mungkin menimbulkan tanda tanya besar bagi kita mengapa begitu minimnya jumlah pengembang yang memiliki sertifikat, bukankah sertifikat ini sangat bermanfaat bagi perusahaan dalam rangka meningkatkan kualitas terhadap proses yang ada, serta meningkatkan daya saing dalam penyerapan pasar. Informasi terakhir dari Aspiluki menunjukan bahwa dari 310 juta dolar Amerika peluang pasar piranti lunak, hanya 20% yang dikuasi oleh pengembang lokal .
Ada beberapa alasan mengapa mereka tidak begitu “peduli” dengan standar yang ada, diantaranya :
- Masalah biaya, dimana untuk mendapatkan sertifikasi pertingkat bisa mencapai 40 hingga 70 ribu dolar Amerika atau sekitar 400 hingga 700 juta rupiah, harga tersebut tentulah tidak sedikit dan sangat kontras dengan masalah modal usaha yang sedang dihadapi oleh perusahaan pengembang perangkat lunak di Indonesia.
- Masalah kedua adalah waktu, dimana waktu yang dibutuhkan untuk implementasi CMM/CMMI sangat lama, sekitar 12 bulan, dengan penerapannya dapat menggunakan beberapa cara, antara lain : menyewa assesor resmi yang telah bersetifikat CMM untuk melakukan evaluasi secara formal atau mengirim pegawai/karyawan untuk mengikuti training CMM kemudian melakukan internal asessement.
- Faktor lainnya yang juga menjadi masalah adalah tidak adanya kesadaran dari para organisasi pengembang perangkat lunak Indonesia mengenai arti pentingnya standar dalam rangka memberikan kepercayaan kepada stakeholder, terkait dengan jaminan kualitas terhadap produk yang dihasilkan.
- Dan terakhir adalah tidak adanya kewajiban bagi para pengembang apabila ingin berpartisipasi dalam setiap tender, baik itu untuk instansi pemerintah maupun swasta.
4. Strategi KIPI Untuk Menjaring Minat
Belajar dari permasalahan yang ada pada minimnya pemegang sertifikasi standar CMM/CMMI, maka perlu membuat strategi bagaimana agar para organisasi pengembang perangkat lunak dapat berminat untuk ikut dalam KIPI versi 1.0. Strategi tersebut antara lain :
• Kemudahan Administrasi Pengurusan
Hal pertama yang diharus dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan implemetasi KIPI adalah kemudahan di dalam administrasi registrasi peserta KIPI. Seperti diketahui masalah pengurusan administarsi (perijinan) masih menjadi “masalah” di negeri ini, oleh karena itu untuk mempercepat di dalam pengurusan sertifikasi KIPI ini, semua instansi yang terkait harus mempersiapkan diri secara matang, mulai dari pendaftaran, pelaksanaan sampai kelurganya sertifikat, sehingga tidak ada lagi keluhan yang menyangkut administratif. Kalau perlu semuanya dilaksanakan secara online dan transparan.
Alternatif lainnya dapat juga menyerahkan pengelolaan standar KIPI ini pada pihak lain yang indepedent, dimana tidak terkait dengan pihak manapun, sehingga lebih objektif dan tidak birokratif.
• Sosialisasi Efektif
Hal kedua yang harus dilakukan adalah mensosialisasi KIPI secara efektif. Sosialisasi ini sangat penting agar KIPI dapat dikenal di lingkungan perusahaan pengembang perangkat lunak maupun di lingkungan instansi pemerintah. Sayangnya setahun setelah KPI versi 1.0 diproklamirkan oleh Departemen Perindustri dan Asosiasi Perangkat Lunak Indonesia, tidak ada dokumen resmi yang membahas mengenai KIPI versi 1.0 ini, baik di situs Deperin maupun Aspiluki. Oleh karena itu perlu dibuatkan forum khusus di kedua situs tersebut, agar masyarakat tahu mengenai arti pentingnya standar tersebut, baik bagi pengembang perangkat lunak, maupun bagi instansi pemerintah ataupun swasta.
Untuk sosialisasi secara langsung perlu di agenda secara khusus oleh departemen perindustrian dan Aspiluki, terutama berkaitan dengan sponsor, pendanaan, pihak yang diundang dan lokasi penyelenggaraan. Kita tahu untuk instansi pemerintah ada keterbatasan dalam penganggaran, oleh karena itu harus didukung oleh pihak swasta, sehingga sosialisasi ini dapat berjalan secara efisien dan efektif.
Adapun hasil yang diharapkan dari sosialisasi ini adalah kesadaran dari para pengembangan dan pengguna produk pengembangan mengenai arti pentingnya peningkatan kualitas produk lokal agar dapat bersaing dengan produk asing. Ini tentu saja akan memberi keuntungan secara tidak langsung kepada negara dalam hal penyediaan lapangan kerja dan pendapatan dari sektor pajak. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah menghilangkan resistensi mengenai keengganan menggunakan standar lokal karena sudah ada standar internasional seperti CMM yang sudah diakui secara luas.
• Biaya Murah Waktu Singkat
Salah satu faktor terbesar keengganan para organisasi pengembang tidak berminat untuk mengambil sertifikat CMM/CMMI adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Dimana untuk biaya pertingkat sebesar 400 hingga 700 juta rupiah. Melihat biaya sebesar ini rasanya tidak mudah bagi para pengembang untuk ikut ambil bagian, khususnya bagi perusahaan yang bermodal kecil. Oleh karena itu bercermin dari masalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkat sertifikat CMM/CMMI, maka untuk KIPI seharusnya lebih murah dari standar internasional, kalau bisa sesuai dengan kemampuan masing-masing perusahaan. Hal ini ditujukan untuk membantu para pengembang software bermodal kecil untuk mengikuti sertifikasi KIPI.
Di dalam CMM/CMMI hal yang berkaitan dengan biaya ini terutama berhubungan dengan pembayaran lead assessor dan pelatihan. Dimana masing-masing dibayar dengan menggunakan standar internasional dalam satuan dollar Amerika. Untuk KIPI mungkin lead assessor lokal dan pelatihannya dapat dibayar dengan menggunakan standar lokal dengan satuan rupiah. Hal ini mungkin dapat mengurangi biaya di dalam pengurusan sertifikat KIPI.
Disamping biaya, faktor lainnya yang juga mendapat perhatian bagi pengelola KIPI adalah waktu penyelesaian implementasi KIPI. Bila CMM/CMMI membutuhkan waktu 12 bulan, maka KIPI harus lebih cepat dari CMM/CMMMI. Ini dimaksudkan agar perusahaan tidak terbuang waktunya hanya untuk mengurusi masalah sertifikasi. Untuk itulah diperlukan mekanisme yang jelas di dalam pengurusan sertifikasi ini dengan menghilangkan banyak birokrasi, caranya mungkin melalui regristrasi secara online.
• KIPI Sebagai Syarat Peserta Tender
Di dalam penyelenggaraan tender pengadaan perangkat lunak, terutama yang selama ini diselenggarakan oleh instansi pemerintah, tidak ada persyaratan yang mewajibkan bahwa peserta tender harus memiliki sertifikat standar kualitas. Persyaratan hanya berdasarkan atas pengalaman dan kualifikasi perusahaan. Oleh karena itu untuk memaksa agar pengembang mempunyai sertifikat, maka pemberlakuan persyaratan tersebut perlu dilakukan, seperti ungkapan yang menyatakan “ikut karna terpaksa”, hal ini dapat dijuga diterapkan di dalam implementasi KIPI versi 1.0. Dimana setiap perusahaan pengembang perangkat lunak disyaratkan untuk mempunyai sertifikat KIPI sesuai dengan level yang dibutuhkan, walaupun ini tidak diwajibkan di dalam keputusan presiden no. 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa, tapi demi kebaikan untuk mendapatkan peserta yang memiliki kualitas di dalam proses pengembangan perangkat lunak, hal ini bisa saja menjadi syarat tambahan yang diminta oleh instansi penyelenggaran tender. Untuk memberlakukan persyaratan ini tentu harus ada koordinasi antara instansi pemerintah, Deperin dan Aspiluki. Sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik.
• Insentif dari Pemerintah
Untuk merangsang agar pengembang dapat ikut di dalam standar KIPI adalah dengan memberikan insentif. Salah satu insentif yang diberikan dapat berupa pengurangan pajak bagi pengembang yang dapat meningkatkan kualitas produk perangkat lunaknya melalui peningkatan level KIPI yang telah dicapainya. Ini untuk memotivasi pengembang agar terus meningkatkan level yang dimilikinya ke level yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan agar perusahaan yang mempunyai level tertinggi KIPI dapat beralih dengan mudah ke standar CMM/CMMI. Seperti diketahui pengembangan dan rekayasa teknologi informasi memerlukan biaya yang tidak sedikit. Hal ini berlaku pula dalam pengembangan industri perangkat lunak. Oleh karena itu, adanya insentif dari pemerintah akan merangsang minat swasta untuk mengembangkan kompetensi di sektor industri ini. Hal semacam ini juga dilakukan oleh-negara-negara lain yang sudah sangat maju industri teknologi informasinya. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah India, dimana perusahaan-perusahaan India yang bergerak di bidang Teknologi Informasi diberikan bantuan finansial pada saat pengembangan untuk jangka waktu tertentu, dan lewat dari waktu yang sudah ditentukan, perusahaan yang bersangkutan harus menghasilkan devisa dalam jumlah minimum yang sudah ditentukan. Apabila hal ini tidak tercapai, maka perusahaan tersebut harus mengembalikan uang yang sudah diterima dari pemerintah. Contoh lainnya adalah Malaysia, dimana setiap perusahaan yang melakukan investasi di Multimedia Super Corridor (MSC) akan memperoleh banyak kemudahan-kemudahan, antara lain kemudahan perizinan dan perpajakan.
• Menciptakan Budaya Standar
Salah faktor yang menyebabkan software lokal kalah bersaing dengan software asing, seperti yang dikemukakan oleh Romi, adalah keterbatasan di dalam pengembangan software, sehingga pada pada saat sofware diukur dari seluruh proses akan kalah bersaing. Untuk mengatasi hal tersebut perlu kiranya menggalangkan ”budaya standar”. Hal ini telah dilakukan di India, dimana setiap pengembang software diwajibkan menggunakan standar CMM dalam setiap proses pengembangan software. Manfaat yang dapat kita lihat sekarang bahwa India menguasai 75% level 5 CMM.
Dengan tersedianya perusahaan industri software dalam negeri yang berstandar tinggi tentu akan dapat membuka peluang yang lebih besar dalam konteks upaya kolaborasi maupun kerjasama lainnya dengan perusahaan Multi National Company (MNC).
• Proteksi terhadap Produk Lokal
Keberhasilan pelaksanaan KIPI sangat ditentukan oleh komitmen pemerintah untuk terus mendukung implementasi KIPI dan melindungi industri perangkat lunak indonesia terhadap serbuan produk asing. Seperti telah diuraikan di atas bahwa hampir 80% pasar perangkat lunak dalam negeri dikuasi oleh perusahaan asing. Hal ini disebabkan oleh ketidakpercayaan konsumen atas produk perangkat lunak lokal. Oleh karena itu untuk membantu para pengembang perangkat lunak Indonesia harus ada kebijakan pemerintah mengenai pembatasan produk perangkat lunak asing, terutama produk-produk yang telah banyak dihasilkan oleh pengembang lokal. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan pengembang lokal akan berlomba meningkatkan kualitas produknya guna memenuhi pasar lokal.
5. Kesimpulan
Standar CMM versi Indoensia atau Kematangan Industri Perangkat Lunak Indonesia (KIPI) telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pengembang software lokal sehingga dapat bersaing dengan pengembang software asing.
Permasalahan biaya mahal, waktu yang lama, tidak adanya kesadaran dan kewajiban bagi pengembang perangkat lunak untuk memiliki standar, menyebabkan minimnya standar internasional yang dimiliki oleh pengembangan perangkat lunak Indonesia.
Belajar dari permasalahan yang ada terkait dengan implementasi KIPI versi 1.0 perlu dirancang suatu strategi khusus agar dapat menarik minat para pengembang perangkat lunak Indonesia untuk ikut serta memiliki standar KIPI versi 1.0. Strategi tersebut diantaranya :
• Kemudahan di dalam pengurusan administrasi sertifikasi KIPI.
• Melakukan sosialisasi secara efektif
• Biaya murah dan dapat diselesaikan dengan waktu singkat
• KIPI digunakan sebagai salah satu syarat wajib pagi para pengembang perangkat lunak, apabila ingin mengikuti tender yang dilakukan oleh instansi pemerintah.
• Insentif dari pemerintah bagi pengembang yang dapat meingkatkan level KIPInya.
• Menciptakan budaya standar untuk menghasilkan software yang berkualitas, sehingga dapat bersaing dengan software asing.
• Proteksi terhadap produk asing terutama produk-produk yang telah banyak dihasilkan oleh pengembang lokal.