Wednesday, December 31, 2008

Visit Bandung (Dec 27-29 2008)

Akhir tahun 2008 jalan2 ke bandung, sambil refreshing keluarga juga review sepanjang jalan tahun 2008 dengan istri tercinta. kebetulan kantor libur, jadi bisa jalan2 sambil refreshing melepas lelah. Tidak ketinggalan mengajak si kecil buah cinta kami, 'KOKO' Charlie, wah, girang betul dia, bersemangat gak ada capek nya (maklum batere alkalin)

HARI - 1

Berangkat pagi2 jam 05:00 (WIB) dari tangerang, sampai Lembang- Bandung pukul 08:00, mau cek in hotel, tapi belum bisa, lagi di bersih2in kata nya, ya kita makan2 dulu di seberang hotel, kebetulan di seberang hotel ada tempat bermain dan ada tempat makanan, tempat nya asri juga nyaman, foto2 dulu sama keluarga.


di tempat ini juga ada jual tahu lembang, tempat nya unik juga tahu nya enak. lokasi nya di dekor seperti pom bensin, berikut foto nya:


foto lagi:

sesudah perut kenyang, kita jalan2 dulu ke Vihara Vipassana, Vihara yang mega di lokasi Lembang - Bandung, di sana rame sekali dan banyak perubahan dari terakhir berkunjung ke sana. Foto Dewi di depan gedung utama:


Foto lagi, pemandangan di Vipassana sangat indah dan sejuk:


Foto lagi di depan Gajah putih, gajah nya gede ya... :


waktu di Vipassana, kita ngobrol2 sama pengunjung di sana, ada sepasang manula yg datang bersama anak cucu mereka, kita ngobrol cukup lama, kemudian di kenalkan tempat makan di dekat sana yg kata mereka enak, murah, dan segar, nama tempat makan nya Java Joglo, Rumah Makan Taiwan. kemudian kita tertarik untuk mencoba nya, akhir nya sampai lah makan siang di sana, wah sejuk sekali, benar2 alami semua nya, perabotannya semua dari kayu jati, sayur mayur nya langsung di petik, dan langsung di masak (wak rasa nya beda loh), anginnya sepoi2 sejuk dan cukup kencang, karena lokasinya tepat di samping tebing, jadi gak kepengen pulang:


sudah sore, balik ke hotel ah, pasti sudah bersih. Oh ya kita nginap di hotel pelangi, murah meriah dan bersih. Kita dapat kamar No. 5. Di depan hotel ada yg jual alpukat, dan buah buah lainnya. cukup murah lah harga nya dibandingkan dengan harga2 di kota.


malamnya kita makan jagung bakar, kebetulan di depan hotel ada yg jual, jadi bisa pesan dan di antar ke hotel, lumayan menganjal perut yg lapar saat diskusi mengenai anggaran tahun 2009. sebelumnya semangkok bakwan malang sudah mengisi perut kami sebagai pembuka makan malam. ternyata kalau malam di Lembang dingin juga ya, jadi cepat lapar, he he he ....

HARI - 2
Besok pagi, bangun dan jalan2 ke depan, sambil melihat pemandangan indah kota kembang ini, tidak lupa membawa SE-K750 untuk foto2,


lokasi nya bagus dengan latar Jawa-perdesaan.


pukul 08:00 kita kembali ke hotel untuk sarapan nasi goreng, cukup kenyang juga mengisi perut yang terasa lapar sejak tadi pagi. Setelah kenyang, kita jalan2 ke kota Bandung untuk beli oleh2 dan berburu baju murah di FO2 yang terkenal di kota kembang ini. untuk lebih PD nya kita beli peta bandung yg di jual di per-4-an lampu merah, kita tawar aja 5000 rupiah, murah meriah. awalnya kita beli oleh2 dulu di kartika sari, mutar2 akhir nya sampai juga, kalau di ingat2 lucu juga, mutar2, belok kanan, belok kiri, akhir nya ketemu juga (ada pepatah yang mengatakan: asalkan ada niat, ke bulan pun sampai).

Kemudian, kita mampir ke jalan Dago, walaupun di jalan ini banyak FO nya tapi kita lebih tertarik ke Amanda Bakery untuk beli oleh2 lagi, kita beli Brownies kukus yg terkenal enak itu, juga cemilan kecil untuk kita test rasa nya.

Jalanan macet karena padatnya debit kendaraan tidak merintangi kami untuk ke Jalan Riau untuk berburu lagi, cukup memusingkan apa lagi karena kepadatan kendaraan Pak Polisi memutar arah jalan, sehingga gak bisa langsung, terpaksa mengeluarkan jurus andalan (malu bertanya sesat di jalan), sampe di jalan Riau, eh ... ternyata bukan di sini mau nya, ternyata target nya ada di Jalan Cihampelas, ya mau gimana lagi, mobil juga butuh bensin, apa lagi kita.... sudah siang nih, kita makan dulu di terminal makan, di sebelah terminal tas di Jalan Riau. yang enak di sini ada otak2 nya, enak deh.


Perut sudah kenyang, kembali ke tujuan utama, tanpa mengenal lelah, kita jalan lagi ke Jalan Cihampelas, tanya sana tanya sini, akhir nya sampai juga. Kemudian kita jalan2 di sana, sambil belanja.... ada Jeans murah Levi'S seharga 60 rb (lumayan) dan lain2 nya.


Juga kita jalan2 ke Ciwalk (Cihampelas Walk) ada mall yang baru di bangun di sana, bagus juga. tempat nya enakin deh. kebetulan lagi diskon, jadi kita belanja2 lagi di sana.


hari menjelang sore, wah, cape juga udah seharian jalan. mau pulang ah... di perjalanan pulang, waduh... macet cet cet.... rencana awal mau ke Mall Paris Van Java (di Jalan Sukajadi) gak jadi deh, karena ternyata pusat macet nya dari mall itu. Rame sekali di sana, sebenar nya penasaran sih, pengen mengunjungi mall yg terkenal itu, yaaa.... next time deh.

Jalan ke arah Lembang pun macet sekali, terutama jalan balik ke Kota Bandung nya, mungkin orang2 dari arah Tangkuban Parahu / Air panas Ciater. Sampai2 di hotel pukul 19:30, wah rasa nya lapar dan lelah bercampur jadi satu, namun tidak menghalangi kita untuk cari makan malam di Rumah Makan Brebes yang terkenal enak itu, katanya dekat dengan hotel, jadi kita jalan kaki aja. Sambil mengendong KOKO yang sudah tertidur pulas, mungkin dia udah mimpi sampai ke surga tingkat 7, kita jalan ke Brebes, cukup jauh juga, tapi apa artinya saat kita berjalan bersama orang yang kita cintai, sambil cerita2 kecil akhir nya tak terasa sampai juga ke tujuan.


Terlihat ayam goreng dan bakar berbaris rapi siap di saji sebagai pemandangan di depan Rumah Makan ini. Menang ayam bakar dan ayam goreng sebagai sajian utama rumah makan ini. Jadi ingat Rumah Makan Bebek Bakar di Jogja waktu HoneyMoon dulu. Semoga di Brebes ini rasa nya tidak mengecewakan. (harap2 cemas nih...)


Akhir nya datang juga pesanannya, ternyata di sini makan nya terhitung murah, untuk pesan ayam bakar + ayam goreng + tahu goreng + tempe goreng + nasi 1 bakul harga nya 25 rb. Teh hangat nya enah loh, pas untuk menghangatkan badan. Pantas kalau ramai sekali di sini, ternyata rasa nya pas di lidah, enak tenan, lalapan nya juga segar dan sambal nya wueeenak huha huha... pedas.... Sudah kenyang, kita kembali ke hotel. Sementara KOKO sudah tidur lelap sekali, sudah pasti kecapean dia.


HARI - 3
Besok nya kita kembali ke Tangerang, mengakhiri perjalanan indah di kota Bandung, masih banyak tempat wisata yang belum kita kunjungai, Tangkuban Parahu, Air Panas Ciater, Paris Van Java, Kawah Cibuni, Dago, You be next....

Friday, December 26, 2008

10 Mobil Terlaris 2008

Seperti diperkirakan sebelumnya, penjualan mobil tahun 2008 akan menembus sebesar 600 ribu unit. Hingga bulan November saja berdasarkan data-data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) angka penjualan mobil sudah mencapai 568.150 unit.Dengan asumsi rata-rata penjualan mobil di tahun 2008 sebesar 40 ribu hingga 50 ribu per unit per bulan, maka target 600 ribu unit akan tercapai dengan mudah meski ada krisis keuangan global.Dari data-data yang dikeluarkan Gaikindo pada bulan Desember 2008 terlihat model-model mobil tertentu yang masih mendominasi penjualan mobil di kelasnya. Mobil-mobil muka lama masih merajai penjualan mobil di Indonesia. Sebut saja Toyota Avanza yang masih menjadi mobil terlaris tahun ini, setelah tahun 2007 juga menjadi mobil terlaris bersama dengan Kijang Innova. Toyota di tahun 2008 ini memegang pangsa pasar mobil hingga 34 persen, disusul Mitsubishi dan Daihatsu sebanyak 14,6 persen dan 12,8 persen pada bulan November 2008.Berikut 10 mobil terlaris di Indonesia berdasarkan angka penjualan yang diperoleh dari Gaikindo hingga bulan November 2008:
1. Toyota Avanza 76.826 unit
2. Toyota Kijang Innova 47.865 unit
3. Daihatsu Xenia 29.969 unit
4. Honda Jazz 23.918 unit
5. Nissan Livina 23.518 unit
6. Suzuki APV 18.750 unit
7. Honda CRV 17.010 unit
8. Toyota Rush 14.175 unit
9. Daihatsu Gran Max 12.836 unit
10. Toyota Yaris 12.016 unit
Yang menarik, Daihatsu Terios yang tahun 2007 lalu bisa berada di 10 besar kini menyusut. Penjualan Daihatsu Terios yang tahun lalu bahkan mencapai 4 besar tidak bisa mempertahankan kinerjanya di 10 besar mobil terlaris. Namun kemunculan Gran Max pada akhir tahun lalu menjadi obat bagi Daihatsu.

Sumber

Monday, December 22, 2008

Sukses Menjadi Orangtua Tangguh


ORANGTUA, terutama ibu adalah orang yang punya peranan penting dalam proses pertumbuhan anak. Perannya sebagai orangtua hebat menuntut mereka senantiasa menjadi pengayom bagi anak-anaknya.

Hari ini tepatnya tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Untuk menjadi orangtua yang hebat tentunya tidak mudah. Tidak ada kelas khusus bagi orangtua untuk mendidik dan membesarkan anak. Namun, orangtua dituntut untuk terus selalu memberikan peranan yang terbaik untuk mendidik buah hatinya.

Orangtua yang memberikan anak inspirasi dalam hidupnya mengawali anak untuk tumbuh optimal. "Orangtua mempunyai peranan penting dalam mengasuh anak," sebut psikolog dari Universitas Indonesia dra Mayke S Tedjasaputra Msi.

Dalam mengembangkan anak yang tangguh, dibutuhkan perjuangan dari orangtua. Selain itu, dibutuhkan kerja sama antara individu dan lingkungan faktor-faktor yang bersifat situasional. "Orangtua sebagai corong, yang harus di ingat mereka adalah bahwa mendidik anak adalah suatu hal yang tidak mudah karena orangtua harus menjadi contoh bagi anak," tutur psikolog yang juga ahli terapi.

Mengantar anak menjadi tangguh sebenarnya bermula dari bagaimana orangtua memilih pola asuh yang sesuai, serta kerja sama antara orangtua dan buah hatinya. Namun, penerapan mengasuh anak-anak sering kali berkaca pada kebiasaan yang sebelumnya diperoleh orangtua si ayah-ibu secara turun-temurun. Memang banyak pelajaran atau pengalaman yang baik, tetapi ada yang berbeda karena adanya perubahan. Antara lain, tingkat kompetisi, adanya pengaruh negatif dari perubahan zaman dan masih banyak lagi yang bersumber dari lingkungan.

Dia menambahkan, orangtua banyak yang berharap dan memimpikan anaknya menjadi seorang anak yang tidak hanya cerdas, tapi juga tangguh. Hal itu didorong situasi masyarakat saat ini, di mana semua orang, termasuk anak-anak harus menjadi orang yang tangguh untuk keluar dari "kompetisi". "Zaman sekarang ini, orang tangguh sangat dibutuhkan," tuturnya saat menjadi pembicara dalam acara diskusi tentang keluarga di Jakarta, baru-baru ini.

Mayke mengatakan, jika anak tangguh, maka itu adalah suatu modal yang menjadikan dia untuk sukses ke depannya. Sukses yang dimaksud di sini adalah bukan sukses soal harta saja, tetapi sukses yang berarti bertanggung jawab dan mempunyai kata hati yang baik.

"Anak yang tangguh juga menjadikan anak tegar yang berarti cerdas, pintar, dan mempunyai life skill untuk menghadapi keseharian," ucap staf pengajar Bagian Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.

Mayke menuturkan, dalam menjadikan anak tangguh juga dibutuhkan keluarga yang tangguh. Selain itu, yang dibutuhkan orangtua adalah melatih kemandirian anak, jangan biarkan anak menjadi manja. Selain itu, setiap anak harus mempunyai dan menaati aturan yang sama. Berikan aturan yang jelas. Jika aturan tidak jelas, dia menyebutkan, anak pun tidak akan tahu apa yang harus dilakukan, harus ada aturan yang membuat anak mengerti apa yang baik.

"Untuk mendidik anak menjadi tangguh, orangtua harus bersikap tegas. Misalnya seperti boleh ya boleh, tidak ya tidak. Benar-benar menerapkan peraturan yang telah dibuat," ucapnya.

Menanggapi Hari Ibu, artis ternama yang banyak melakukan kegiatan sosial, terutama masalah anak-anak, Dik Doank menuturkan, orangtua, terutama ibu adalah seseorang yang sangat banyak memberikan peran pada anak-anaknya.

"Peranan ibu sangat banyak sekali. Ibu bisa menjadi sandaran hidup, pandangan hidup, sejarah hidup, penasihat hidup, pendukung hidup, sekaligus juga menjadi kritikus," ujarnya saat menghadiri acara berpetualang dan berimajinasi bersama Paddle Pop Lion dalam "Pyrata The Movie" belum lama ini.

Dia mengatakan, saat ini peranan ibu telah bergeser. Ibu yang seharusnya banyak berperan untuk anak-anaknya lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja demi mencari uang. Hanya Dik Doang mengingatkan, kendati sekarang adalah zaman emansipasi, justru pengertian itu jangan disalahartikan. Kesetaraan bukan berarti wanita harus mengejar tugas kaum pria.
"Kesetaraan itu mempunyai arti yang besar," ungkapnya.

Dia menyebutkan, menjalani peran sebagai ibu suatu fungsi yang sangat tidak mudah dilakoni. "Dan untuk mencintai itu tidak ada rasa lelah. Hidup itu harus seimbang, termasuk untuk mendidik anak, baik itu ayah maupun ibu," paparnya.

Monday, December 15, 2008

Tourism Attraction in Bandung

Bandung consist of many kind of tourism attraction. We invite you to enjoy all objects that waiting for you. come to bandung and get the unforgetable experience. Bandung is a region surrounded by mountains. This green region is including protected forests, craters, plantations, waterfalls, hot springs and camp fields. Bandung serves scenic highlight, fresh air, and also amazing cool. Tourist can enjoy and using the facilities that provided in this scenic attractions.

Tangkuban Parahu

The beautiful is still virgin and natural which hasn’t been touched by structuring. So many visitors are interested for it’s charming. Location in Sindangbarang 125 km from Cianjur and 220 km from Jakarta

Puntang
Tourism atrraction Puntang mountain is historical tourism object which located at Komplek Gunung Malabar. On 1300 m in surface of sea with temparature between 18'- 23' C. base on the story of Pasundan society which develop of of the public, here before avaliable a kingdom which namely Nagara Puntang. At some place founded the rock thingk has related with inheritance of Puntang history as: Korsi rock, Kaca - kaca rocks and Kampaan rocks. On Hindia - Belanda period in this location established a radio transmitter (Stasiun Pemancar Radio Ma
labar). Until now ruins of that transmitter can be found, as witness of historiest.

Kawah Putih
At Bandung south area, about 46 km from Bandung avaliable one mountain which namely "Gunung Patuha - the oldest parent called, Gunung Sepuh 2434 m from the land, it is has 2 crater, thar are: Saat crater on the top of west, and Putih crater under the Saat crater 2.194 m from the land, both the crater formed because eruption on X century and XII century.

At Bandung south area, about 46 km from Bandung avaliable one mountain which namely "Gunung Patuha - the oldest parent called, Gunung Sepuh 2434 m from the land, it is has 2 crater, thar are: Saat crater on the top of west, and Putih crater under the Saat crater 2.194 m from the land, both the crater formed because eruption on X century and XII century.

Drive to Ciwidey via Soreang. Those using public transportation have to change in Ciwidey from a big bus to a minibus bound for Rancabali or Lake Patengan. Exactly 10 km from the Ciwidey bus terminal you come to the new access road to Kawah Putih on the left. This is the entrance to the western approach
After paying a small admission fee, you drive up about 6 km on a bumpy road (good enough for a minibus but rather rough on a sedan) to a car park. A short flight
of steps takes you down to Kawah Putih. Those without a car can walk from the main to Kawah Putih in under two hours.

Identical with the legend of Sangkuriang, there are 10 cauldron, among Ratu Cauldron, that located 29 Km from Bandung with temperature range from 7-29 degree Celsius with air dampness 45-49%.


Cimahi Waterfall

Located at subdistrict of Cisarua, 10 km from Cimahi to Lembang or can reached trough Lembang (before Grand Hotel), turn left to west, and gate there Cimahi - lembang street. To location of waterfall must trough by walking steep descend ( some part as stairs), and can reached on 15 - 30 minute, Curug (waterfall) visited by most youth who is like to do hiking,

Dago Waterfall

Curug Dago located at Nort of Bandung, the attraction of this location there are avaliable a waterfall with height 30 meter. Reach that waterfall do by walking or by motor cycle, altough not avaliable special line for vehicle.

This waterfall is part of upper course of Cikapundung river which crossed Bandung city. Avaliable facilities as : place for shelter and seat also temporari café, which present at holiday.

Maribaya

Waterfalls, recreation grounds and a magnificent gorge make Maribaya, just a few minutes east of Lembang, a very popular resort. On Sundays this is a particularly crowded spot. Minibuses and horse carts are frequent from Lembang. Maribaya draws many Bandung residents on Sundays because of the hot springs which are channeled into a small public pool and various private cabins. Some come here for the children’s playground and horseback ridding (about $3/hr.), and many just to have a picnic in the park.

A magnificent walk leads through the Cikapundung Gorge to Juanda Park, about an hour and a half away. The path leads first to a waterfall (unfortunately, no swimming is possible) and then in to the gorge. Farther on the path forks: left leads out of the valley again, up the slope and to an other fork where turning left takes you to an impressive view points just above Maribaya; the path to the right takes you to Dago. Walking further through the gorge you reach Juanda Park, passing Japanese World War II bunkers along the way. Another hike back to Bandung begins at the new car park posted “Curug Omas”, which is 5 km from the Lembang crossroads and before you reach Maribaya. This path provides far better views than the rail in the gorge. This trail, too, goes to Juanda Park or, some forty-five minutes longer, to the Ciumbuleuit area. Directions Go straight (east) at the Lembang crossroads and follow the charming tree-lined road. Some 4 km from Lembang the roads begins to dip steeply into the Cikapundung Valley. If you go by horse cart you have to walk this last downhill section. The Maribaya recreation park is 5.5 km from the crossroads.

Juanda Forest

Going further from Dago Tea House following the Dago road, to the north is Juanda Forest Park, up hill of northern Bandung. It is a refreshing 50-ha reservation site that preserves over 2500 kind of trees from 40 families and 108 species. You can stroll around in the park, visit underground fortifications made by the Dutch and Japanese, or hike up into the hills above Dago as far as Maribaya. On Sundays and public holidays the park is rather crowded.

Directions By public transportation go up to the Dago bus terminal and transfer to a minibus going to Taman Juanda. By car, drive up Jl. Juanda to the Dago terminal (about 3 km from the Jl. Siliwangi intersection) and take the second street to the left past the terminal. Drive on until you reach the entry gate to Juanda park. A hefty Rp. 2,500 is charge for parking your car, but there is little other choice.

Sunday, December 14, 2008

Umang Island (Pulau Umang)

Umang Island – Banten-Indonesia.

Umang Island or Pulau Umang located in Banten-Java Island


Pulau Umang, a paradise next door? An outdoor banquet on the beach? It sounds wonderful. And it was the balmy night, the food, the sandy beach on a private island in Banten province, all of it. Not only would young lovers find it romantic but so too would parents taking their family away for a weekend and enjoying dinner on a moonlit beach with the gentle sound of waves lapping the shore.

With fresh seafood as the main course served by amiable staff, every guest enjoyed the magical moment by the sea.

Most urbanites, particularly those residing in a big, crowded city like Jakarta, can only dream of having the sea right at their doorstep, but on Pulau Umang it is a reality. And everyone can enjoy this simple pleasure just by leaving behind the traffic jams of Jakarta and visiting this island on the western tip of Java island.


Pulau Umang, located in Banten’s Pandeglang district, is a reasonably priced dream getaway for anyone looking for a relaxing beach experience with ambience. Situated near the UNESCO heritage site of Ujung Kulon nature reserve, Umang Island is a worthwhile destination for travelers.


Umang island resort and spa offers the same comforts as a star-rated hotel. The informal atmosphere enables guests to unwind and enjoy the laid-back pace of this relaxing island.

Pulau Umang is well protected from stormy seas, with the popular Tanjung Lesung beach to the north, Ujung Kulon to the south and Panaitan Island far west of the small island. Visitors have little to fear from large waves on their trip out to the island as it is just a five-minute speedboat ride from the shores of Sumur, Pandeglang, which takes approximately four hours to reach by car from Jakarta. The resort has free 24-hour secure parking at its parking lot in Sumur and accommodation for drivers.

Alighting from the speedboat, visitors walk along the pier to the main gate of the resort. A welcome drink awaits every guest. The natural beauty of the resort becomes apparent as soon as one heads for their cottage. Set amid five hectares of land, the resort has 60 cottages facing the sea, each with a view of either sunrise or sunset depending on individual choice. Each cottage has two large rooms with connecting door. The bedroom on the mezzanine has a distinct romantic feel to it, made all the more special by the fresh sea air and the lulling sound of breaking waves. The structures are all earthquake resistant.

Ten minutes from Umang island is the uninhabited Pulau Oar, which people visit to walk along the white sandy beach or go snorkeling, jet-skiing or for a ride on a banana boat in the crystal clear water. The islet also has many places to get a great shot of sunset or sunrise.

Rocky Side of Pulau Umang

Over all, Pulau Umang is a paradise on earth where holiday-makers can laze around and enjoy its beauty and tranquility, far removed from the hassles of urban life.

Sunday, November 30, 2008

Kamma Ini Punya Siapa?

Oleh : Phra Wongsin Labhiko Mahathera

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun bahwa dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang kekal; siang akan berganti dengan malam, mentari terbit dan akhirnya tenggelam, kuncup bunga mekar merekah dan akhirnya layu jatuh berguguran di hamparan bumi, pertemuan selalu diakhiri dengan perpisahan, begitu pula dengan kita tidak akan hidup selamanya, suatu saat nanti kematian kan datang jua menjemput si pemilik kamma.

Salah satu persoalan yang biasa timbul dalam pikiran semua orang yang dapat berpikir secara normal, yaitu persoalan kematian. Paling sedikit satu kali semasa hidupnya pernah berpikir tentang kematian itu bagaimana? atau “bila sudah meninggal saya akan kemana?” pemikiran semacam ini kadang disertai dengan rasa takut.

Kerap kali hal ini tidak dapat dijawab, karena belum pernah merasa meninggal atau tidak ingat lagi bahwa pernah berulang kali mengalami kelahiran dan kematian. Jelasnya tidak tahu ada apa dan bagaimana setelah kematian.

Ada beberapa peristiwa sehubungan dengan kematian, seseorang yang telah meninggal dapat menghubungi mereka yang masih hidup meskipun kemunculannya tidak secara sempurna, namun dia dapat menceritakan apa yang dialaminya, dan dapat memberikan identitas dirinya semasa hidup di alam manusia.

Ada pula orang yang dinyatakan meninggal lalu ternyata hidup kembali, bahkan dia dapat menceritakan pengalamannya ketika dinyatakan meninggal. Tetapi peristiwa ini tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut diatas juga masih belum bisa menghapus keragu-raguan sebagian orang yang mulai mempercayai bahwa yang dia ceritakan memang kejadian yang sebenarnya.

Satu peristiwa lagi tentang kehidupan sebelum tumimbal lahir berikutnya, cerita dari seseorang yang dapat mengingat kelahirannya yang terdahulu. Tetapi masih tetap menimbulkan keragu-raguan bagi sebagian orang, dengan berpikir bahwa apa yang diceritakan itu hanya permainan pikiran orang itu sendiri atau dia dapat bercerita karena diajarkan oleh orang lain atau mungkin pula apa yang diceritakan itu kejadian yang benar-benar terjadi, dan hal ini sulit untuk membuktikannya.

Peristiwa-peristiwa tentang kelahiran yang terdahulu sebelum tumimbal lahir berikutnya sering diberitakan dalam surat kabar, tetapi sering pula diterima atau dianggap sebagai suatu hal yang mustahil/ tidak mungkin terjadi. Salah satu contoh dari peristiwa seseorang yang dapat mengingat kehidupan yang pernah dialaminya dahulu sebelum kelahirannya sekarang ini, yaitu seorang anak kecil yang lahir di negara India dapat menyebutkan dengan fasih nama suatu daerah di India, padahal anak tersebut baru mulai belajar berbicara sedangkan orangtuanya tidak pernah menyebutkan daerah tersebut untuk mengajarkannya kepada anak mereka, tak lama kemudian anak tersebut mengaku mempunyai pabrik biskuit yang besar di daerah yang ia sebutkan serta mengaku kalau dia telah beristri, disebutkan pula nama istrinya. Setelah diselidiki ucapan anak itu ternyata terbukti kebenarannya.

Beberapa lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di negara-negara Eropa, berminat sekali menyelidiki tentang adanya peristiwa tumimbal lahir. Sampai mengeluarkan biaya dalam jumlah yang besar untuk menyelidiki kebenaran peristiwa-peristiwa semacam itu. Tetapi masih belum mendapat kepastian, berarti masih belum dapat menghapus keragu-raguan akan hal tersebut.

Pada jaman Sang Buddha, sebagian besar mereka yang belum bisa menjawab persoalan ini pergi menghadap Sang Guru, meminta petunjuk dari beliau untuk mendapat jawaban/ penyelesaian. Sang Budha mengajarkan bahwa semua mahluk memiliki kammanya sendiri, mewarisi kammanya sendiri, lahir dari kammanya sendiri, berhubungan dengan kammanya sendiri, dan terlindung oelh kammanya sendiri, apapun kamma yang diperbuat itulah yang diwarisinya.

Kematian menghantarkan mahluk yang belum mencapai kebebasan untuk lahir di alam berikutnya sesuai dengan kamma yang ia miliki, setiap mahluk bertanggung jawab atas kamma yang diperbuatnya, bahagia atau menderita itulah yang akan dialaminya kelak setelah masaknya buah dari perbuatan.

Cerita waktu saya masih remaja, memiliki sedikit kebijaksanaan dan banyak sekali kebodohan yang saya miliki. Ketika itu saya sering bertentangan dengan para Samana/ pertapa juga bertentangan dengan orang-orang dewasa tentang hal-hal yang ada sangkut-pautnya dengan kamma. Saya berpendapat bahwa apa yang disebut kamma itu merupakan suatu kejadian yang kebetulan saja terjadi, surga dan neraka hanya sebuah cerita kuno untuk mengancam atau menakut-nakuti anak-anak agar mudah diatur dan merupakan kata-kata yang berupa ajakan kepada mereka yang kurang berpendidikan, dan tidak memiliki ilmu pengetahuan untuk mempercayainya.

Saudara-saudara, ketika saya menginjak usia dewasa dan mendapat kesempatan untuk belajar dan menyelidiki tentang kamma, timbullah kepercayaan dalam diri saya tentang adanya kamma, semakin dalam saya mempelajari semakin mantap keyakinan saya akan ajaran Sang Buddha. Ketika mempelajari tentang kamma, banyak kejadian-kejadian aneh saya temui yang semula saya tidak mempercayainya, salah satu kejadian tersebut akan saya ceritakan di bawah ini :

Kamma Ini Punya Siapa?

Peristiwa yang pernah terjadi di negara Thailand dengan mayoritas penduduk beragama Buddha diperkirakan 90% penduduk negara tersebut beragama Buddha.

Berdiamlah satu keluarga di sebuah rumah bernomor 102. Desa Tungki, Kabupaten Muang, propinsi Phayau, Thailand Utara. Desa ini merupakan perkampungan yang letaknya jauh dari kota dan dekat dengan hutan. Mata pencaharian mereka bercocok tanam; padi-padian, sayur mayur dan buah-buahan selain itu mereka pun berburu binatang dan mengambil hasil hutan. Di desa ini perekonomian lemah, pada umumnya penduduk disini miskin, pendidikan mereka rata-rata hanya sampai tingkat sekolah dasar saja. Di kala musim hujan telah berlalu, mereka memasuki hutan untuk berburu binatang-binatang, menebang pohon untuk dijadikan bahan bakar sebagian, dari kayu-kayu tersebut dijual, juga mereka mencari rotan serta kayu, daun-daunan dan akar-akaran untuk dijadikan obat ramuan berbentuk jamu.

Penduduk desa ini bukan tergolong orang-orang yang malas, mereka rajin dan semangat dalam mencari nafkah, mereka bekerja keras karena memang didorong oleh keadaan perekonomian mereka yang pas-pasan. Walaupun mereka bekerja keras dan semangat yang tak kunjung reda, keadaan mereka tetap tidak jauh berbeda seperti hari-hari kemarin, banyak faktor yang menyebabkan mereka demikian. Semuanya ini tidak terlepas dari kamma yang membawa mereka lahir dalam kondisi dan posisi yang demikian; kurangnya pendidikan, ekonomi yang lemah, kurang mendapat perhatian dan bantuan dari masyarakat lain juga hal-hal yang bermacam-macam sehingga sulit untuk membuat kemungkinan mereka maju.

Sang Buddha pernah mengatakan : “Kammalah yang dapat memisahkan dan membeda-bedakan mahluk ke tempat yang baik atau buruk”. Barang siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan baik pasti akan lahir di tempat yang penuh dengan kebahagiaan dan siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan buruk pasti akan lahir di tempat yang penuh dengan penderitaan.

Keluarga yang alamatnya tersebut diatas, keadan ekonominya juga seperti apa yang digambarkan, kepala keluarganya bernama Noy Kingkay, istrinya bernama Nangkom. Waktu itu mereka baru berkumpul sebagai pasangan suami istri tiga bulan yang lalu setelah melangsungkan upacara pernikahannya.

Kemiskinan bukan rintangan bagi mereka berdua untuk mengarungi bahtera rumah tangga, mereka telah lama saling jatuh cinta dan berjanji akan saling melindungi serta selalu saling mencintai, persoalan apapun yang timbul dalam kehidupan keluarganya besar atau kecil dan walau serumit serta sesulit apapun akan mereka atasi berdua, saling membantu-menolong, tak akan mundur dan tetap tidak akan berpisah, kecuali kematian yang akan memisahkan mereka. Itulah janji mereka berdua.
Padi sudah dipanen dan telah disimpan dalam lumbung padi, musim hujan telah berlalu, kini tibalah menyongsong musim kemarau, mata pencaharian mereka beralih ke hutan dengan berburu binatang-binatang dan memanfaatkan hasil hutan.

Dalam keadaan kehidupan yang demikian, mereka harus mempunyai peralatan untuk bercocok tanam juga peralatan untuk berburu dan mengambil hasil hutan, diantara peralatan tersebut, mereka memiliki bedil-senapan. Pada suatu hari berangkatlah pak Noy dan seorang temannya ke hutan yang besar dengan membawa bedil dan golok, cuaca cukup baik tidak terlalu panas. Mereka memasuki hutan dengan turun naik gunung yang jaraknya kurang lebih tujuh sampai delapan kilometer dari kampung mereka, hari sudah siang kira-kira pukul 14.00 mereka berhenti berjalan untuk beristirahat karena sudah merasa capai, di bawah pohon besar yang rindang beristirahatlah mereka berdua sambil minum air yang mereka bawa sebagai bekal perjalanan, dari dalam tasnya pak Noy mengeluarkan kantung tempat air minum yang dibuat dari kain kasar, saat tempat air minum itu ia angkat untuk melepas dahaga, matanya melihat seekor binatang di atas pohon. Hai apa itu?

Rupanya seekor kera sedang bertengger di batang pohon sambil melihat sahabat yang baru datang dan beristirahat dibawah pohon rindang sambil minum air pelepas dahaga, sayang sungguh sayang kera itu tidak menyadari bahaya mengintai, manusia yang ia lihat itu merupakan raja kematian yang akan menjemputnya.

Tiba-tiba pak Noy memberi istirahat dengan jari kepada sahabatnya, secepat kilat bedil pak Noy sudah tertuju pada sasaran yang akan menjadi korban tembakannya. Kera yang bernasib malang baru menyadari akan bahaya yang sedang dihadapinya, belum sempat ia melompat ke batang-ranting lain untuk meloloskan diri dari ancaman bahaya peluru-peluru dari bedil pak Noy telah dilepaskan, diiringi dengan dentuman suara yang bergema di dalam hutan. BUMM....!, ciak! dan tup! Jatuhlah kera meluncur menuju tanah yang ditumbuhi rerumputan, mungkin kera itu tidak berpikir bahaya yang ditimbulkan manusia yang dilihatnya itu demikian besar hingga membawa pada kematian.

Setelah dentuman peluru dan jatuhnya kera, pak Noy mengambil tas kain untuk kemudian memasukkan kera tanpa dilihatnya lagi karena yakin kera itu pasti mati oleh beberapa tembakannya. Setelah selesai beristirahat dan menembak kera, mereka melanjutkan perjalanan untuk meneruskan perburuannya terhadap binatang-binatang yang lain, sepanjang perjalanannya mereka tidak menemui mangsa lagi sampai waktu menjelang senja, kedua sahabat ini sepakat untuk keluar hutan dan kembali pulang kerumah. Dalam perjalanan turun naik gunung dan menyeberangi sungai, mereka tidak menyadari tas yang berisi kera itu bergerak-gerak kira-kira dua kilometer lagi sampai ke tempat tujuan, terjadilah peristiwa yang tidak mereka duga sebelumnya. OH ! aduh ! tolong! terdengarlah teriakan dari mulut pak Noy dibarengi dengan wajah yang dipenuhi dengan keterkejutan dan gambaran rasa sakit, sambil tangannya memegang perut sebelah kiri. Apa yang terjadi? Rupanya pak Noy digigit oleh kera hasil buruannya yang semula dikira sudah mati, kera itu rupanya hanya pingsan karena kesakitan peluru yang dilepaskan pak Noy hanya menyerempet tengkuk dan dua peluru bersarang di kaki sebelah kanan, ketika kera siuman rasa sakit masih terasa sekali dan timbul kebencian dalam diri kera tersebut terhadap si pemburu.

Pak Noy dengan dibantu temannya berusaha mengeluarkan kera tersebut dari tas kain dan berhasil kera itu dikeluarkan, rasa sakit yang masih dirasakan akibat gigitan kera, pak Noy dengan penuh kemarahan memegang kera yang sedang menderita akibat tembakannya hingga tak berdaya dan kemudian membanting kera tersebut ke tanah, empat sampai lima kali bantingan dan kera yang tak berdaya itu akhirnya pingsan kembali. Belum! Belum puas hati Noy kemudian ia mengambil golok yang dibawanya tadi lalu memukul kedua kaki depan kera, kiri dan kanan sampai gepeng, bahkan hampir putus kaki kera itu dipukulnya, setelah itu dalam keadaan yang parah, kedua kaki belakang kera masih diikatnya pula dengan tumbuhan menjalar agar tidak bisa mencelakai lagi, kemudian kera tersebut dimasukkan kembali ke dalam tas kain.

Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan pulang dengan rencana yang telah disepakati berdua untuk membuat panggang kera dan sebagian dimasak dengan sayur.

Saudara-saudara, Sang Buddha pernah bersabda; “Barang siapa yang membuat penderitaan bagi mahluk lain, penderitaan itu akan mengikutinya”.

Waktu berjalan sebagaimana mestinya tanpa dapat menunggu apa dan siapapun, tak terasa waktu dilalui dari hari ke hari cukup lama peristiwa penganiayaan kera telah lewat, bersamaan dengan itu pula istri pak Noy atau ibu Nangkom sedang hamil tiga bulan dengan masih menunjukkan gejala mual dan muntah-muntah sebagaimana biasanya wanita yang sedang hamil, mereka merasakan kebahagiaan, mungkin sepertinya tidak ada yang dapat menyamai kebahagiaan seperti apa yang sedang mereka rasakan, buah dari perkawinan dua insan yang saling menyinta.

O, ANICCA! Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dalam enam bulan mendatang. Waktu berdendang ria dari saat ke saat tidak pernah beristirahat terus berjalan mengikuti hukum alam, tiada yang dapat melarang dan menghalanginya. Tibalah saat yang dinantikan oleh sepasang suami istri ini, saat akan melahirkan bayi yang diharap membawa semarak dan kebahagiaan dalam bahtera rumah tangganya. Ibu Nangkom mulai merasakan sakit perut sebagai pertanda akan melahirkan, dengan dibantu sanak keluarga, pak Noy membawa istrinya ke rumah sakit di sebuah kota yang jaraknya cukup jauh dari desa tempat tinggalnya.

Dengan bantuan dokter dan para juru rawat, lahirlah bayi perempuan dengan selamat demikian pula ibunya. Setelah ibu dan bayinya dibersihkan, dokter bertanya kepada ibu Namkong; “Apakah ibu pernah berusaha minum obat untuk menggugurkan kandungan atau dengan usaha lain untuk menghancurkan benih yang saudara kandung?”

“Tidak pernah saya melakukan hal tersebut, dokter”, sahut ibu Namkong.

Kemudian dokter bertanya kepada pak Noy; “Apakah bapak pernah mengidap penyakit kelamin?” “Tidak, tidak pernah saya mengidap penyakit seperti itu, dokter”, jawab pak Noy.

Saudara-saudara, ada apa gerangan sehingga dokter bertanya demikian? Rupanya bayi yang baru lahir cacat sedangkan parasnya sangat menawan hati. Cacat bayi itu ada pada tangan dan kakinya, jari-jari kedua tangannya sebagian gepeng dan dempet seperti dipukul dan sebagian jari-jarinya yang lain laksana dipotong hampir putus, dan ada hal yang aneh lagi pada kedua kakinya sekitar mata kaki naik sedikit berbentuk seperti tanda-tanda diikat dengan tali dan semua ini dapat dilihat dengan jelas kelihatan nyata.

Suatu kejadian yang aneh dan mengherankan bagi saya, dulu saya tidak percaya akan hukum kamma dan akibatnya. Tetapi sekarang saya merasa takut akan akibat dari perbuatan-perbuatan buruk. Banyak kejadian-kejadian aneh lainnya yang telah saya jumpai dan alami sehingga sekarang saya percaya dan yakin tentang hukum kamma.

Dosa dan kedengkian yang telah diperbuat terhadap kera pada waktu itu kini teringat kembali. Dengan wajah yang sedih pak Noy berkata lirih; “Mengapa keadaan ini menimpa anak saya?”

Saudara-saudara sekalian cerita tentang keluarga pak Noy diatas itu merupakan kisah nyata, dan gadis kecil yang cantik kini berusia tujuh tahun, masih hidup dan tinggal bersama kedua orangtuanya pada alamat tersebut diatas, Ayahnya (pak Noy) sedang berusaha mencari uang untuk biaya operasi jari anaknya.

Saturday, November 29, 2008

Kisah Pengalaman Hidup

Oleh : Phra Vongsin Labhiko

Pada sebuah Vihara di Bangkok, Wat Bubpharam, tinggallah di Vihara tersebut Phra Mahasiri (Phra = Bhikkhu). Beliau menceritakan sebuah pengalaman hidup yang beliau alami dan akan diceritakan di bawah ini :

Sejak beberapa tahun yang lalu, saya tinggal di Wat Bubpharam ini, terlihat seorang ibu hampir setiap hari datang ke vihara, ibu tersebut bernama Thanom, ada juga yang memanggilnya ibu Visakha nomor dua, karena jasa dan kebajikan yang selalu ia lakukan. Ia memiliki keyakinan yang kuat terhadap ajaran Agama Buddha, dan menghormat kepada para bhikkhu/ samanera. Bila dilihat dari ketekunannya tidak terlalu salah ia dikatakan sebagai upasika teladan, ia teguh dalam dhamma, sila dan dana. Dalam hal dana, tidak pernah lalai akan kebiasaan baik tersebut, ia selalu melaksanakannya. Setiap hari ia berdiri di depan rumahnya menanti para bhikkhu dan samanera yang melaksanakan pindapata (pindapata = berjalan untuk menerima persembahan dana dari umat, dengan membawa tempat makan). Setelah memberikan dana ia akan berjongkok dan beranjali satu kali kemudian memegang gelas yang berisi air putih, lalu diangkatnya ke atas kepala sambil bertekad (adhitthana) sesaat sebelum air tersebut dituang ke tanah. Bhante Mahasiri salah seorang bhikkhu diantara para bhikkhu yang berpindapata dan melewati rumah ibu tersebut, jika pagi hari ibu tersebut tidak terlihat, maka sore hari ia akan datang ke vihara.

Sebagai umat Buddha yang baik, ia mempunyai pengetahuan yang cukup tentang sila atau vinaya para bhikkhu dan samanera, sehingga dapat menempatkan diri dengan benar. Tingkah lakunya sopan santun, hormat kepada bhikkhu dan samanera. Bila ia akan bertanya kepada bhikkhu/ samanera, sebelumnya ia beranjali dan ia bertanya dengan kata-kata yang sopan, begitu pula ketika ia ditanya ia akan bersikap anjali. Tidak merasa lebih tinggi, sama atau merendahkan kepada para bhikkhu/ samanera. Kebiasaan seperti ini umumnya dimiliki oleh umat Buddhis di Thailand, merupakan adat istiadat yang baik.

Karena ia sering datang ke vihara, maka ia mengenal dengan baik para bhikkhu/ samanera seperti sanak keluarga, begitu pula bhikkhu/ samanera mengenal ia dengan baik. Ibu Thanom sering bertanya keperluan/ kebutuhan bhikkhu/ samanera, dia suka sekali menolong dengan sepenuh hati dan segenap kemampuannya.

Suatu hari menjelang sore dalam kesempatan yang baik ketika ibu Thanom bersama cucunya mengunjungi Bhante Mahasiri di kuti beliau. (kuti = tempat berteduh bagi bhikkhu dan samanera), untuk memberikan dana minuman berupa air jeruk, setelah kedua belah pihak bertutur sapa, dan kemudian Bhante Mahasiri bertanya kepada ibu Thanom : Bu, bolehkah saya bertanya ? Silakan acharn, ada apa gerangan yang ingin acharn tanyakan ? jawab ibu Thanom sambil beranjali. (acharn = kata ganti yang biasa dipakai umat di Thailand untuk memanggil para bhikkhu, juga bhikkhu dan samanera akan memanggil acharn kepada bhikkhu yang lebih tua. Acharn berasal dari kata Acariya = Guru). Bu, apa yang menyebabkan ibu sangat teguh dalam berbuat kebajikan misalnya berdana, teguh dalam memegang dan menjalankan sila, meditasi, mendengarkan dhamma dan menolong orang-orang atau binatang yang sedang mengalami penderitaan ? sebelum menjawab bu Thanom beranjali dan tersenyum (sudah menjadi sifatnya murah senyum). Bhante, kalau bhante ingin tahu dan memberi kesempatan kepada saya untuk mengungkapkan penyebab semua ini, dengan sepenuh hati saya akan membukakan segala peristiwa yang pernah terjadi.

Peristiwa-peristiwa yang akan saya ceritakan ini, dapat menimbulkan pemikiran bagi yang mendengar bahwa hal tersebut seperti sandiwara, tetapi peristiwa tersebutlah yang membuat saya teguh dalam ajaran Sang Buddha sampai sekarang ini. Saya telah mengalami sendiri peristiwa yang aneh sekali, ketika saya masih remaja ibu saya seringkali mengajarkan bahwa kita sebagai umat Buddha, kita harus selalu praktek sesuai dengan ajaran Sang Buddha, misalnya : memberikan dana kepada bhikkhu sangha/ samanera, mendengarkan dhamma dan berbuat kebaikan-kebaikan lainnya dengan kemampuan yang kita miliki. Tetapi saya tidak pernah berdana kepada para bhikkhu/ samanera karena saya merasa malu terhadap para bhikkhu/ samanera, terlebih malu lagi terhadap beliau yang berusia muda. Sejak kecil hingga remaja, saya tidak pernah berdana walaupun hanya satu kali. Ketiak saya berusia delapan belas tahun, ibu saya mengalami penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, saya dan sanak keluarga membawa ibu ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan namun tidak berapa hari kemudian ibu saya meninggal dunia. Pada suatu hari sebelum ibu saya meninggal, saya dipanggil oleh ibu, kemudian saya mendekati dan beliau berpesan kepada saya : “ Anakku yang kukasihi, ibu merasa tidak bisa bertahan lebih lama lagi berarti ibu akan meninggalkan kalian, ini adalah nasehatku yang terakhir, selagi engkau masih hidup berusahalah berdana dan selalu berbuat baik, dan kau hanya tinggal berdua dengan adikmu, ayahmu telah lama meninggal ketika kau berusia tiga tahun, oleh karena itu kembangkanlah rasa cinta kasih diantara kalian, hiduplah dengan rukun, saling membantu, jangan ribut diantara kalian berdua. Engkau harus tetap mengasihinya seperti ketika aku masih ada”. Dengan rasa segan dan hormat saya menyetujui pesan-pesan beliau termasuk pesan-pesan beliau dalam hal berdana, sebenarnya saya tidak mau dan tidak setuju berbuat demikian.

Ketika beliau sudah meninggal, upacara kematian pun berlangsung serta jenazah dikremasikan dengan bantuan sanak keluarga serta tetangga. Tetapi tentang berdana saya belum melaksanakannya.

Satu tahun kemudian saya sakit keras, suhu badan saya tinggi sekali hingga tak sadarkan diri. Adik perempuan saya serta sanak keluarga menganggap saya sudah meninggal, sepertinya saya sudah tidak bernafas lagi, mereka telah membeli peti mati untuk saya.

Bhante, pada waktu saya tak sadarkan diri, saya tidak tahu pergi kemana, di sebuah rumah saya bertemu dengan ibu saya. Rumah itu bersih dan bagus sekali, halamannya luas, ada kebun bunga yang berwarna warni, rumput-rumput hijau. Semuanya nampak indah sekali bagaikan istana raja yang berkuasa. Banyak orang yang tinggal di rumah tersebut, semuanya wanita dan wajah mereka cantik-cantik sekali. Bila dibandingkan dengan saya, kata orang termasuk cantik, saya ini tidak ada apa-apanya, perbandingannya jauh sekali bagaikan langit dan bumi, usia mereka diperkirakan antara 16-18 tahun. Diantara para wanita cantik itu ada yang wajahnya mirip sekali dengan ibu saya, tetapi wajahnya nampak lebih muda. Ketika saya sedang berpikir wanita itu mirip ibu saya tetapi mengapa tidak tua seperti dulu, wanita itu berkata : “Thanom engkau jangan ragu-ragu lagi, betul ini adalah saya yang menjadi ibumu dulu, marilah dekat dengan saya. Mendengar ibu memanggil begitu, hati saya sangat senang sekali, saya langsung berlari kemudian memeluk ibu, lalu kami berbincang-bincang bertanya tentang kebahagiaan dan keadaan-keadaan yang telah berlalu, ketika itu saya merasa lapar dan melihat buah-buahan yang bagus-bagus tersedia di atas piring, tentunya enak sekali bila dimakan.

Para wanita cantik mengambil buah-buahan tersebut untuk dimakan, saya merasa lapar dan ingin makan bersama mereka kemudian saya berpikir buah-buahan itu miliki ibu, saya sebagai anaknya tidak perlu meminta ijin untuk memakan buah-buahan tersebut, lalu tangan saya menjangkau untuk mengambil jeruk dari piring tersebut, tetapi anehnya jeruk itu menempel dengan kuat satu sama lain sehingga saya tidak berhasil mengambilnya, begitu pula ketika saya ingin mengambil pisang, hal yang sama terjadi lagi.

Ibu melihat kejadian itu dan beliau berkata : ”Thanom itu bukan milikmu, milikmu ada di dalam kamar itu, masuklah kalau engkau mau makan”. Saya memasuki kamar yang ditunjukkan oleh ibu, disana saya melihat sepiring nasi, seekor ikan kembung yang sudah digoreng serta dua setengah buah pisang. Spontan saya ingat ketika berusia sebelas tahun pernah memberikan dana satu kali, itupun terjadi karena waktu itu ibu tidak ada di rumah karena ada urusan di tempat jauh dan beliau harus bermalam disana. Ibu menyuruh saya untuk mewakili beliau memberikan dana pada pagi hari. Pisang yang dua setengah buah itu seharusnya diberikan tiga buah, karena saya menyimpannya tidak hati-hati, maka pisang tersebut sebagian digigit tikus dan saya memotongnya sebelum dipersembahkan sebagai dana.

Saya merasa sangat menyesal, sedih dan berkecil hati, dengan berlinang air mata saya menyesali diri, sudah berusia delapan belas tahun hampir menginjak usia sembilan belas tahun, baru mempersembahkan dana hanya satu kali itupun karena ibu tidak sempat. Saya menjadi orang yang lengah tidak patuh pada nasehat ibu, bahkan menjadi anak yang bandel dan sifat-sifat buruk lainnya, saya begitu menyesali diri dan mencela diri sendiri. Sebagian orang menanam jasa kebajikan, mereka mendapat buah dari berdana yang pernah mereka perbuat dan hasilnya begitu bagus dan menyenangkan. Tetapi saya hanya satu kali mempersembahkan dana sehingga apa yang saya peroleh seperti apa yang sekarang terjadi : sepiring nasi putih, seekor ikan kembung yang sudah digoreng dan dua setengah buah pisang. Saya sedih sekali, karena sangat lapar dan teramat letih, lalu saya makan dengan menunduk malu sekali pada wanita-wanita tersebut. Dan saya berjanji dalam hati, kalau saya pulang ke rumah nanti saya akan memberikan dana setiap hari sebanyak-banyaknya.

Setelah selesai makan saya menjumpai ibu, dan beliau berkata, “Thanom anakku, apakah engkau sudah melihat hasil dari persembahan danamu? Saya sudah berpesan engkau harus sering berdana berbuat kebajikan/ jasa-jasa lainnya, tetapi engkau tidak mau dan tidak mematuhi pesan saya. Nah ! mulai hari ini engkau jangan melalaikan dan melewatkan kesempatan yang baik, kamu beruntung masih memiliki kesempatan yang baik di alam manusia. Berbuatlah kebajikan dengan segenap kemampuanmu serta kesungguhan, hendaklah engkau berusaha berbuat baik sebanyak-banyaknya sampai akhir hayatmu. Perbuatan baik tidak pernah sia-sia, engkau telah menyaksikan sendiri akibat dari apa yang telah kita perbuat. Sekarang engkau pulanglah anakku, dan jangan lupa akan pesanku”.

Saya menyetujui pesan-pesan ibu dengan hati yang tulus ikhlas, ini merupakan yang pertama kali dalam hidup saya menerima semua nasehat ibu dengan ikhlas dan bertekad untuk melaksanakannya. Pesan-pesan ibu masih menggema di hati saya sampai sekarang ini. Kemudian datanglah pegawai yang menjemput, untuk mengantarkan saya kembali, lalu saya beranjali dan bernamaskara kepada ibu serta permisi untuk pulang.

Ketika saya siuman, perasaan sakit yang berat hilang semua, tidak usah minum obat lagi tetapi saya merasa amat haus. Saya meminta air kepada mereka yang menjaga saya, mereka menangis dengan rasa haru karena mengetahui saya telah sadar kembali, tidak meninggal dunia.

Bhante, saya tidak sadarkan diri selama satu hari satu malam, hal ini saya ketahui dari adik dan sanak keluarga saya, kemudian saya makan seperti biasa hingga akhirnya saya benar-benar sembuh.

Sejak saat itu sampai sekarang ini saya berusaha mempersembahkan dana setiap hari tidak pernah lalai/lupa, bila saya sedang sakit maka sya akan menyuruh anak atau cucu saya untuk mempersembahkan dana. Saya merasa senang dan beruntung dapat sembuh dari penyakit demam yang menyebabkan saya tidak sadarkan diri, sehingga saya masih memiliki kesempatan untuk berbuat baik. Dan saya menyukai perbuatan-perbuatan baik seperti berdana, melaksanakan sila, melaksanakan samadhi, sembahyang, suka datang ke vihara untuk mendengarkan dhamma ajaran Sang Buddha dan perasaan malu terhadap bhikkhu/ samanera sudah tidak ada lagi semenjak saya sembuh dari sakit itu.

Bhante, mungkin banyak orang yang akan berpikir bahwa saya tidak memakai akal sehat, mempercayai hal-hal tersebut dengan membabi buta atau pendapat lainnya, tetapi saya tidak menghiraukan pendapat mereka. Saya mempercayai kejadian yang saya alami itu dengan sungguh-sungguh dan tanpa keraguan di hati saya. Karena saya telah melihat kejadian di alam sana, dan saya menyaksikan sendiri buah dari perbuatan baik bagi mereka yang telah melaksanakannya, saya tidak akan bimbang dan goyah dalam berbuat baik apalgi meragukan akan kamma, saya yakin siapa yang berbuat baik akan memetik buah kebaikan yang pernah mereka tanam begitu pula bagi mereka yang berbuat buruk, maka mereka akan memetik buah dari akibat perbuatan buruknya.

Kini saya merasa puas hati dan bahagia karena saya telah melakukan kebajikan, sebagai bekal untuk menempuh kehidupan saya selanjutnya, saya tidak takut akan kematian, saya siap menerima kematian kapanpun datangnya.

Itulah cerita, pengalaman hidup Ibu Thanom atau Ibu Visakha nomor dua yang sangat percaya diri. Sekarang ia berusia lima puluh delapan tahun.

Saudara-saudara sekalian dalam Dhammapada, yamaka vagga ayat delapan belas, Sang Buddha bersabda : “Di dunia ini ia berbahagia, di dunia sana ia berbahagia; pelaku kebajikan berbahagia di kedua dunia itu. Ia akan berbahagia ketika berpikir, “aku telah berbuat bajik,” dan ia akan lebih berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia”.

Berkaitan dengan cerita di atas Bhante Mahasiri, memberikan wejangan : Perihal alam yang belum kita lihat baik itu surga maupun neraka, yang telah dijelaskan oleh Sang Buddha dan dicatat dalam Kitab Suci Tripitaka, dan beberapa hal dijelaskan pula oleh para bhikkhu yang telah mencapai tingkat Arahat, bahkan para bhikkhu masa sekarang ini pun mampu melihat alam-alam tersebut dengan kemampuan konsentrasi ketenangan tingkat tinggi (Jhana). Bukan dilihat dengan mata biasa yang masih banyak kilesa (kekotoran batin) dan Tanha (hasrat, keinginan) seperti kebanyakan manusia pada umumnya. Oleh sebab itu menyangkal akan kenyataan tersebut, untuk membuktikan marilah kita bersama-sama melatih samadhi sampai mencapai dibbacakkhu.

Wednesday, November 26, 2008

Celaan VS Pujian

Oleh: Phra Vongsin Labhiko Thera

Para pembaca yang saya hormati.

Negara Thailand terkenal dengan sebutan “Negara Buddhis” yang tentunya banyak sekali vihara, baik di kota, desa-desa, bukit-bukit, gunung-gunung hingga di gua-gua alami, dan juga di hutan-hutan. Boleh jadi sama dengan mesjid di Negara Indonesia. Tempat yang sunyi senyap seperti di sebuah gua/ hutan yang terletak di atas gunung menjadi tempat ideal bagi para Bhikkhu dan Samanera dalam berlatih Samadhi untuk mencapai kemajuan bathin.

Demikianlah pengalaman saya yang sering tinggal di gua, dari satu gua ke gua yang lain secara berpindah-pindah, sehingga saya mendapat banyak pengalaman yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan saya merasa kaya dengan pengalaman dari pengembaraan tersebut, meski saya tidak memiliki harta kekayaan, namun kaya dengan pengalaman dari masa pengembaraan tersebut, batin menjadi bahagia dan selalu puas seakan lebih kaya dan lebih berbahagia daripada mereka yang memiliki harta kekayaan. Entah alasan apa, sebab hal ini sulit diukur dan dibandingkan dengan apapun, itulah sebabnya Sang Guru dan siswa-siswanya pada waktu masih hidup, suka tinggal di tempat-tempat seperti tersebut di atas. Walaupun gua besar yang alami merupakan tempat tinggal yang saya sukai, namun saya tidak bisa tinggal selamanya disana sesuka saya sendiri, sebab saya masih punya tugas untuk mengajar dan membimbing para Bhikkhu/ Samanera yang umurnya masih muda-muda. Mereka tinggal di vihara yang letaknya di bawah gua tempat tinggal saya. Biasanya para Bhikkhu/ samanera ini dibimbing oleh ketua Vihara tapi sekarang karena beliau sudah tua dan lemah fisiknya. Akhirnya beliau minta pertolongan saya untuk menggantikannya dalam melanjutkan tugas mulia itu.

Saudara yang berbahagia, bagi saya atau para Bhikkhu/ Samanera, Dhamma Vinaya adalah sebagai batu ujian untuk mengukur sejauh mana Bhikkhu/ Samanera itu dalam mempraktekkan dan menghayati Vinaya, maka bila seorang Bhikkhu tinggal ditengah kelompok Bhikkhu Sangha bersama-sama akan memiliki semangat dalam upaya mempraktekkan Vinaya, menjaga persatuan dan kesatuan, selalu berusaha memelihara kerukunan dan saling mengingatkan bila ada kelalaian dalam Dhamma Vinaya, saling hormat menghormati, selalu mengembangkan cinta kasih. Hal ini merupakan suatu kebahagiaan yang tidak terhingga seperti yang tertulis dalam Paritta suci….” Mestika apapun di dunia ini yang sangat mahal harganya, namun mestika Buddha, Dhamma dan Sangha lebih tinggi nilainya dari mestika apapun di dunia ini.”

Sang Guru mengatakan bahwa tinggal di tempat sunyi adalah sangat baik seperti di hutan alami, gunung atau gua alami. Hal ini karena tempat-tempat tersebut bisa membantu bagi mereka yang berlatih Samadhi agar dapat segera mencapai kemajuan batin. Alasannya bahwa tempat seperti itu jauh dari kebisingan kota yang hiruk pikuk dengan kesibukan duniawi dan tempat yang sunyi adalah sebagian persyaratan dalam berlatih Samadhi, hanya yang mencekam adalah kegelisahan, rasa tersiksa, tidak puas, tidak bahagia dan lain-lain. Padahal, bila mereka sudah mengerti dengan benar bahwa pengaruh kilesa itu justru yang harus kita lawan, kita tundukkan sehingga pengaruh kilesa itu akan hancur semua dan lenyap sama sekali sampai tidak timbul kembali menggoda kita.

Sang Guru mengingatkan bahwa “ Ada dua alasan mengapa aku suka tinggal di tempat yang sepi seperti hutan alami ini, pertama, demi kebahagiaan dalam kehidupan saat ini, dan kedua, demi demi keteladanan bagi generasi penerus.” Namun demikian, bukan berarti bahwa tinggal di kota yang ramai tidak baik dan lain-lain, secara luasnya Sang Guru mengatakan bahwa bagi mereka yang mau berlatih samadhi dengan sungguh-sungguh agara dapat mencapai kemajuan batin adalah tempat sepi yang lebih baik dan setelah kita bisa mengatasi serta menghancurkan kilesa hingga batin menjadi tenang seimbang (Upekkha), maka sebaiknya kita mengabdikan diri untuk melayani umat demi kebahagiaan dan kelestarian Buddha sasana. Inilah yang patut direnungkan dengan sebaik-baiknya.

Bila seorang Bhikkhu yang belum bisa menghancurkan kilesa, pikirannya mudah sekali tergoda oleh nafsu duniawi hingga batin tidak pernah mencapai ketenangan dan tidak mau berlatih Samadhi., lalu mengajar Dhammma kepada umat dan melayani umat, maka hasilnya kurang memuaskan. Lebih dari itu seringkali yang terjadi karena tidak bisa mengendalikan nafsu-nafsunya, akhirnya mencari jalan pintas yaitu meninggalkan jubah keBhikkhuannya (lepas jubah) lalu tidak lama kemudian meminang seorang gadis untuk diajak hidup bersama. Hal ini banyak sekali contoh-contohnya, dan jawabannya adalah bahwa hal demikian tidak dipesankan oleh Sang Guru.

Saudara-saudara seDhamma yang berbahagia, kita tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial, artinya masih tergantung satu dengan yang lainnya. Sebagai manusia kita tidak bisa hidup seorang diri, meskipun orang itu punya kedudukan yang tinggi, sakti, pandai (genius), milyuner, cantik, tampan dan lain-lain. Kebutuhan manusia masih saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, bahkan dengan binatang dan seisi alam semesta. Coba saja renungkan dengan baik. Dengan alasan inilah, maka selayaknya kita harus mencintai dan menghargai semua makhluk tanpa kecuali bahkan tumbuhan dan pohon-pohon besar, tanah, air dan seluruh isi alam semesta ini, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.

Meskipun sering kali timbul pikiran-pikiran kacau, jenuh dan banyak gangguan serta godaan bila tinggal dengan kelompok Bhikkhu Sangha serta umat di sebuah Vihara. Tapi semua ini ada hikmahnya, ada manfaatnya bahwa disinilah hasil apa yang telah dicapai yakni kemajuan batin harus diuji kemampuannya untuk mengatasi dan mengendalikan nafsu-nafsu keinginan, pikiran kacau, gelisah, jenuh dan lain-lain.

Selain itu ada manfaatnya bila kita hidup di tengah-tengah masyarakat dan kelompok Bhikkhu Sangha antara lain bila kita sakit mendadak, adanya kebutuhan mendadak dan lain-lain, maka mereka akan segera menolong dan membantunya. Dengan demikian bearti hambatan dan rintangan tersebut akan secepatnya bisa diatasi.

Tinggal di tempat sepi sendirian memang lebih bahagia sebab jauh dari gangguan dan godaan, tapi seorang Bhikkhu punya tugas dan rasa tanggung jawab terhadap umat yang membutuhkan pertolongan, terutama tugas membabarkan Dhamma. Tugas ini adalah sangat mulia yang mesti diterima dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Bila seorang Bhikkhu sudah bisa menjalankan dua kewajiban dalam hidupnya, yaitu pertama, menyepi atau berlatih samadhi setelah berhasil lalu mengabdikan diri pada umat, maka kehidupannya terasa benar-benar berarti. Dengan kata lain bahwa hidupnya tidak sia-sia hanya untuk kepentingan sendiri. Seperti contohnya seorang Raja yang bijaksana kalau tinggal di hutan yang sepi selama hidupnya berarti kedudukan dan kebijaksanaannya tidak berguna sama sekali, sebab tidak mau diamalkan untuk kepentingan rakyatnya. Demikian pula seperti batu permata berlian yang tinggi nilainya tapi kalau dibuang di selokan atau dipendam dalam tanah berarti nilai keindahannya tidak ada yang tahu. Tapi sebaliknya kalau batu permata berlian tersebut dipakai sebagai kalung atau cincin yang sering terlihat oleh orang lain, maka atau permata berlian tersebut terlihat keindahannya oleh semua orang yang melihatnya. Akhirnya permata berlian itu dikagumi, dihargai dan disanjungi.

Tinggal di tengah-tengah kelompok Bhikkhu dan masyarakat luas juga pandai-pandai membawa diri, artinya harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana kita berada. Disinilah Dhamma mesti diterapkan seperti sila, samadhi dan panna. Dengan pedoman Dhamma yaitu sila, samadhi dan panna dalam bermasyarakat, maka kita akan terhindar dari akusala kamma (perbuatan buruk) yang mengakibatkan penderitaan, tapi sebaliknya akan memperoleh kebahagiaan ditambah lagi dengan mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang, saling menghormati, suka menolong dan membantu yang membutuhkan, rendah hati, maka kita akan dikenal sebagai orang yang budiman atau memiliki sifat mulia/ luhur. Namun demikian ada pula orang yang disebut sampah masyarakat, penjahat yang suka merampok, mencuri, menipu dan lain-lian. Orang macam ini harus dibuang atau diasingkan di tempat yang jauh dari masyarakat, supaya mereka menyadari bagaimana rasanya orang yang jauh dari masayarakat.

Biasanya para penjahat kalau tertangkap lalu kena hukuman masuk penjara di tempat yang jauh. Kehidupannya tidak bebas lagi seperti orang yang baik. Kadang-kadang dalam penjara dididik keterampilan kerja. Hal ini merupakan cara kemanusiaan untuk mendidik dan mengajarkan mereka agar bisa menjadi orang baik dan berguna.

Para pembaca yang budiman, saya selalu bergaul dengan siapa saja sambil menganjurkan dan menyampaikan Dhamma dengan rasa cinta kasih dan kekeluargaan agar mereka bisa bersama-sama dengan saya mempraktekkan Dhamma dengan kemampuannya. Alasannya ialah karena hidup ini penuh dengan bahaya, kalau kita mau menyadari dengan pengertian benar bahwa sesungguhnya hidup kita selalu terancam bahaya setiap saat, apakah bahaya itu?

Bahaya disini artinya godaaan/ rangsangan nafsu indera kita melalui mata, telinga, lidah, kulit, dan pikiran yang selalu menyeret kita masuk ke dalam api keserakahan dan lain-lain. Seringkali kita lengah tanpa disadari selalu mengikuti godaan tersebut. Karena itu Dhamma adalah sebagai pedoman hidup kita. Dengan selalu ingat Dhamma dan mempraktekkan setiap saat, maka kita akan selamat dan terhindar dari bahaya tersebut.

Setiap orang tidak sama sifatnya, ada yang baik, ada yang tidak baik, seperti halnya seorang Bhikkhu yang bernama “Waraha” yang sifatnya sombong, egois, dan sukar dinasehati karena merasa dirinya dari keluarga orang kaya/ jutawan, hingga sering kali membuat masalah dengan teman-temannya.

Pada suatu hari seorang Bhikkhu yang bernama “Subhuti” melapor kepada saya setelah bertengkar dengan Bhikkhu Waraha. Maksudnya agar Bhikkhu Waraha menghentikan kelakuan buruknya yang sering membuat keributan sebab sering melanggar Vinaya. Maka suatu malam setelah selesai puja bakti sore, saya mengajak dia untuk datang ke kuti saya berbincang-bincang dalam Dhamma, lalu dilanjutkan tanya jawab dan wejangan Dhamma dengan Bhikkhu Waraha sebagai berikut: “ Oh, Waraha yang baik, saya punya pandangan begini, bahwa seseorang yang terlahir di lingkungan keluarga jutawan dan terhormat di masyarakat, pasti orang tuanya mendidik dengan baik dan benar. Ia akan disekolahkan hingga mencapai gelar/ titel atau berpendidikan tinggi. Apalagi orantuanya terhormat, tentunya anak tersebut memiliki sifat mulai/ luhur yaitu rendah hati, suka menolong, ramah tamah, dan tidak sombong, mudah bergaul dengan siapa saja, mau memaafkan kesalahan orang lain, bersedia menerima nasehat dari orang yang lebih tua, saling menghargai, selalu hormat dan tunduk kepada orang yang lebih tua dan patuh pada peraturan. Tapi bukan sebaliknya jadi orang yang sulit dinasehati, suka membantah, sombong terhadap siapa saja sebab merasa menjadi orang yang terhormat dan lain-lain. Jadi tidak pernah pernah berbuat salah sedikitpun, perkataannya benar, tingkah lakunya terpuji. Inilah pandangan saya, lalu bagaimana menurut anda, Bhikkhu Waraha?”

Bhikkhu Waraha mendapat kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, lalu berkata : “Yang Mulia Bhante, saya baru saja masuk dalam Dhamma Vinaya (kehidupan Samana), dan baru belajar sambil praktek Dhamma Vinaya. Saya belum punya pengetahuan luas dan dalam tentang Dhamma seperti yang lain. Tapi setahu saya yang pernah mendengar dan melihat ternyata pada umumnya biasa-biasa saja. Setiap orang ada kekurangan dan kelebihannya. Jadi suatu kesalahan pasti ada saja, baik sedikit maupun banyak. Saya rasa tidak ada seorangpun yang sempurna dalam tingkah-lakunya, baik ucapan maupun perbuatannya”.

Lalu saya kembali membuat pertanyaan : “Jika demikian berarti menurut anda bahwa semua orang pasti ada melakukan kesalahan besar maupun kecil, betul tidak Waraha?”

“Betul Bhante”, Bhikkhu Waraha menjawab tegas.

“Kalau begitu, baik anda maupun saya sama-sama masih melakukan kesalahan, baik sengaja maupun tidak, betul tidak?” saya menjawab lagi.

“Betul Bhante, saya juga mungkin ada kesalahan atas kelalaian yang disadari maupun tidak”, jawab Bhikkhu Waraha dengan muka cerah, penuh pengakuan.

Bila memperhatikan dia hingga terlihat seolah dia menang, saya bertanya lagi, “Oh Waraha yang baik, kalau ada Bhikkhu lain menegurmu dan menunjukkan kesalahanmu dengan harapan agar anda mau menerima, lalu memperbaiki diri menjadi lebih baik dalam praktek Dhamma Vinaya tapi nyatanya mengapa anda marah terhadap yang menegur?” Bhante muda itu duduk diam.

“Sesungguhnya saya tidak berbuat salah apa-apa, tapi Bhikkhu yang lebih tua karena merasa sudah lama menjadi Bhikkhu selalu selalu mencari-cari kesalahan saya. Rupanya mereka itu menjadi orang yang terlalu banyak mencela dan mengkritik orang lain saja.”

“Oh, Waraha yang baik, renungkanlah baik-baik dulu. Sesungguhnya kita tidak bisa melihat seluruh tubuh kita sendiri walaupun sambil duduk lalu berdiri di depan kaca cermin. Kita hanya bisa melihat bagian depan saja tapi bagian belakang tidak bisa dilihat. Demikian pula dengan kelakuan kita. Kita hanya bisa menilai yang baiknya saya, tapi bagian yang tidak baik kadang-kadang kurang diperhatikan dan disembunyikan. Kemudian ketika orang lain menunjukkan kesalahan kita, biasanya kita tidak terima. Kita jadi tidak senang pada orang yang bermaksud memperbaiki kesalahan kita karena kita terlalu cinta pada diri sendiri, egois dan tersinggung lalu marah dan menimbulkan pertengkaran. Padahal orang lainlah yang mengetahui keseluruhan kelakuan kita baik yang baik maupun yang buruk (ibarat cermin). Sebenarnya kita tidak boleh marah pada mereka tapi sebaliknya kita harus berterima kasih sebab dengan demikian kita bisa tahu segala kesalahan dan kekurangan kita, untuk selanjutnya tidak mengulanginya lagi.”

“Oh, Waraha yang bijaksana, seandainya ada seorang pemuda di wajahnya ada kotoran, tapi dia sendiri tidak tahu dan tidak melihatnya dari cermin. Pemuda ini merasa mukanya bersih. Orang lain yang berselisih jalan akan melihat noda kotoran di muka pemuda tersebut dan langsung memberitahukannya supaya mukanya dicuci agar bersih dari kotoran. Tapi ternyata pemuda itu marah dan menghina dengan kata-kata kasar karena merasa dipermalukan. Bagaimana pendapat anda Waraha? Pemuda tersebut betul atau salah?”

“Tentu saja pemuda itu salah. Ia tidak mau menerima maksud baik orang lain yang mau memperbaikinya, Bhante.”

“Jadi, cara yang benar itu harus bagaimana?”, saya bertanya lagi.

Bhikkhu Waraha menjawab, “Pemuda itu harus mau menerimanya dan memeriksa muka yang kotor yang ditunjukkan oleh orang lain. Setelah merasa ada bukti kotoran tersebut, langsung mencucinya hingga bersih.”

“Waraha yang baik, biasanya para pandita (orang bijaksana dan memiliki tingkah laku baik) mau menerima dan menghargai kritikan, celaan, teguran, hinaan, dan lain-lain, dan dianggap lebih bernilai daripada pujian sebab hal itu bisa menggugah semangat untuk meningkatkan kewaspadaan serta lebih hati-hati penuh pengendalian. Sebaliknya pujian bisa membuat orang terlena, manja, tidak mau meningkatkan usaha lagi, bahkan bisa menimbulkan kesombongan dan akhirnya ia akan lupa diri. Pujian ibarat racun yang sangat membahayakan, bisa mematikan dan sangat merugikan kita”.

Saudara-saudara seDhamma yang baik, sampai di sisni Bhikkhu Waraha baru sadar setelah mendengar uraian Dhamma dari saya. Dengan muka tersenyum dan cerah ia berkata, “Yang Mulia Bhante, sekarang saya sadar dan terima kasih. Bhante seolah-olah telah menunjukkan gudang harta karun bagi kehidupan saya, sungguh tidak ternilai, ibarat saya orang miskin yang sering kelaparan. Lalu Bhante menunjukkan harta karun untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan, bahkan sampai menjadi orang kaya yang bahagia dalam Dhamma. Sungguh beruntung saya bisa bertemu Bhnate dalam hidup ini. Hal ini merupakan pelajaran dan kekal dalam menempuh kehidupan sekarang maupun nanti. Saya mohon maaf bila ada kesalahan baik sengaja maupun tidak terhadap teman-teman. Semoga saya bisa memperbaiki dan mengendalikan perbuatan buruk yang sering saya lakukan untuk selalu ingat Dhamma yang indah ini agar saya bisa hidup bahagia dalam duniawi maupun Dhamma. Saya ucapkan banyak terima kasih atas nasehat Bhante.”

“Sadhu, Waraha, saya ikut anumodana dengan tulus hati.”

Para pembaca yang berbahagia, sejak hari itu sifat Bhikkhu Waraha berubah total. Ia menjadi Bhikkhu yang pendiam, tenang, selalu gembira, dan puas hati menerima teguran dari rekan-rekan sepenghidupan suci.

Jadi, Vihara tempat saya bertugas ini, sekarang menjadi damai, penuh kekeluargaan, baik kehidupan para anggota Sangha dengan Upasaka-upasikanya. Akhirnya Vihara yang meskipun kecil tapi banyak pengunjungnya, apalagi pada hari-hari Uposatha.

Kesimpulan :

Para pembaca yang saya hormati, kebanyakan orang tidak mau meneliti diri sendiri dengan berpedoman kepada Dhamma, maka mereka berpandangan bahwa dirinya saja yang lebih baik, yang paling benar. Kalau melihat orang lain mencari kesalahan dan kekurangannya saja, bila dirinya salah tidak mau mengakui dan menerimanya. Meskipun sudah dikritik dan ditunjukkan kesalahannya selalu mengelak dan menutupi kesalahannya dengan berbagai cara, bahkan marah hingga berbalik menyerang, menimbulkan pertengkaran dan mau menghancurkan yang mengkritik. Selalu berusaha dengan penampilan meyakinkan, pendiam, bertingkah laku halus, ramah penuh pujian, bila diajak bicara dengan maksud-maksud tertentu dan bukan bicara sejujurnya, orang seperti ini berpandangan picik dan munafik. Ia mau mau benar sendiri dan menganggap orang lain salah dan bodoh. Penuh kepalsuan, tidak jujur, kalau bicara dalam Dhamma, berlawanan dengan apa yang dikatakannya, hanya mau mencari keuntungan untuk diri sendiri saja. Orang yang berpandangan picik dan munafik ini sangat membahayakan dan merugikan orang lain. Inilah yang dikatakan oleh Sang Guru, “Asevana ca balanang ... artinya jangan bergaul dengan orang-orang jahat.”

Semoga dengan uraian Dhamma ini para pembaca semakin maju dalam Dhamma.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.

Tuesday, November 25, 2008

Pandangan Salah Menilai Hukum Kamma

Oleh : Phra Vongsin Labhiko

Dewasa ini sering kita mendengar orang berkata tentang hukum kamma ajaran Sang Buddha, perbuatan baik akan mengakibatkan kebaikan/ kebahagiaan, dan perbuatan buruk akan mengakibatkan penderitaan. Namun sebagian orang masih bimbang dan ragu, dengan mengatakan bahwa perbuatan baik itu tidak mendapat kebaikan yang benar. Seperti pengalaman yang telah dialami seseorang, dan Ia mengatakan demikian :

Saya yang selalu berusaha melakukan kebaikan dari kecil hingga dewasa, melaksanakan Pancasila, Atthasila, berlaku jujur, tidak pernah licik terhadap siapa pun, sering ke vihara, suka sembayang pagi-sore dan meditasi, suka berdana, suka menolong orang-orang yang mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Tapi hasilnya ternyata hidup saya masih miskin, tidak punya tempat tinggal yang megah, tidak punya mobil, tidak punya banyak uang, bahkan kalau ingin membeli sesuatu yang merupakan kebutuhan keluarga harus berpikir berulang-ulang kali, hal ini disebabkan karena kondisi ekonomi, bahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut sampai harus memeras tenaga sampai keringat keluar dari tangan saya. Anak-anak kami tidak dapat meneruskan sekolah karena tidak ada biaya, oh…saya ini hidup susah sekali.

Namun sebaliknya ada orang yang jahat seperti pembunuh, perampok, yang berkelakuan sifatnya merusak seperti tidak kenal agama, tidak pernah berbuat baik, tidak mau menolong orang yang sedang susah, dan lain-lain. Tetapi mengapa hidupnya kaya raya, rumahnya mewah bagaikan istana, mobilnya banyak dan dengan harga yang mahal, kalau makan sering di restoran besar, anak-anaknya sekolah sampai ke luar negeri. Pernahkah anda melihat hal seperti itu?

Kalau melihat kenyataan yang demikian, seolah-olah orang yang berbuat jahat itu itdak menerima akibat perbuatannya yaitu penderitaan, seperti yang sering dikhotbahkan oleh para Bhikkhu. Bagaimana menurut anda tentang hal ini?

Para arif bijaksana menerangkan bahwa mungkin karena akibat/ pahala perbuatan baik di masa lampau berbuah atau masih melindungi, maka mereka bisa hidup pada saat ini berkecukupan, dan bahkan mewah serta bergelimangan harta. Tapi bukan berarti buah perbuatan baik atau buruk tidak membawa akibat, pasti ada akibatnya. Hanya waktunya belum sampai, manusia yang kurang sabar menunggu, maunya melihat hasil dengan segera. Hukum kamma itu pasti adil, kalau tidak dalam kehidupan sekarang pasti dalam kehidupan yang akan datang, kita harus tenang dan berhati dingin, kita jangan salah mengerti atau salah pandangan mengenai ajaran Sang Buddha.

Sang Buddha mengajarkan bahwa, “Siapa berbuat baik maka ia akan mendapatkan kebaikan atau kebahagiaan, sedangkan siapa berbuat jahat, ia akan mendapatkan kejahatan atau penderitaan”. Kita jangan salah mengerti bahwa berbuat baik akan mendapatkan uang atau imbalan tetapi kita harus merenungkan pelan-pelan, apakah hal itu benar atau tidak?

Perbuatan baik akan mendapatkan kebaikan, bila manusia sering berbuat baik dan tidak mendapatkan uang sebagai buah perbuatannya maka ia akan berpikir terus mengapa demikian? Namun kita pun harus berpikir usaha kita berbuat baik sampai dimana, dapatkah berakibat langsung mendapatkan buah dari hasil perbuatan baik tersebut dalam kehidupan ini yakni menjadi orang kaya raya yang memiliki banyak uang untuk dapat membeli mobil sedan, membangun rumah mewah dan indah, untuk berbelanja ke tempat-tempat exclusif, untuk makan di restoran-restoran besar yang terkenal dan lain-lain. Dan sebagian orang akan berpikir pula, tentang orang yang berbuat jahat kapan akan menerima akibatnya. Kenyataannya semua orang tahu ia menjadi pengusaha dan berkuasa, punya banyak uang dan harta lainnya yang berlimpah ruah, dipuja dan dihormati orang, tidak pernah melihat ia miskin atau dalam kesusahan.

Dengan adanya kenyataan yang saya lihat tersebut, kadang-kadang saya berpikir berulang kali dan timbul keraguan tentang hukum kamma. Oh…., sungguh sangat kasihan bagi mereka yang berpikir demikian. Jangan terburu-buru berpandangan demikian, dinginkan pikiran dulu kalau ingin merenungkan ajaran Sang Buddha. Sebenranya orang yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan, bukan mendapatkan “uang”. “Kebaikan dan uang “ itu bukan barang yang sama, mengapa kita berpikir bahwa berbuat baik harus mendapatkan uang.

Jika seseorang melakukan kebaikan dengan tulus hati, tanpa rasa terpaksa, tidak ingin memperoleh imbalan pasti ia akan memperoleh buah kebaikan secara langsung saat itu, yang berakibat timbulnya sifat-sifat mulai. Begitu pula orang yang jujur terhadap segala sesuatu maka ia akan mendapat sifat kejujuran dengan segera, tidak usah menunggu sampai kehidupan yang akan datang, tetapi pada detik ia melakukan akan memperoleh akibat kebaikan dan bukan menghasilkan “uang”.

Ada beberapa perbuatan baik yang dapat menutup kesempatan untuk mendapatkan uang atau bahkan mengorbankan uang dalam berbuat baik, misalnya seorang dokter yang berkorban dalam tugas kemanusiaan jauh di desa-desa terpencil. Selain tidak mendapat hasil yang memadai, ia justru banyak mengalami kesukaran misalnya dalam perjalanan disebabkan penduduknya merupakan para transmigran di daerah yang sulit dijangkau dan masih baru.

Padahal kalau dokter tersebut buka praktek di kota besar akan cepat kaya, tetapi karena kesukarelaannya dan ketersediaannya berkorban demi kesehatan semua orang, ia rela melepaskan kesenangan dan kesempatan mendapatkan banyak uang. Hal ini berarti dokter menjalankan sifat-sifat mulia sehingga pada akhirnya namanya cepat terkenal, dipuji dan menjadi suri tauladan yang baik bagi semua orang. Ini merupakan akibat langsung yang diterima dari perbuatannya.

Contoh lain, para bhikkhu dan samanera yang rela melepaskan kehidupan duniawi untuk mengabdikan diri dan menjalankan hidup kesucian yang sesuai dengan Dhamma Vinaya, anggota Sangha yang bertugas menyebarkan Dhamma ajaran Sang Buddha, menunjukkan jalan hidup yang benar kepada umat agar bisa terlepas dari penderitaan lahir dan batin.

Hal-hal di atas merupakan contoh perbuatan baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain dimana hasilnya atau pahalanya tidak ternilai dan akibatnya akan diterima dalam kehidupan sekarang juga, tetapi bukan mendapatkan “uang” untuk menjadi orang kaya.

Dari semua contoh di atas, diuraikan agar saudara-saudara semua tahu dan mengerti dengan benar, bisa melihat buktinya dalam kehidupan saat ini, bahkan dengan berbuat baik selain hilang kesempatan mendapatkan uang malah mengorbankan uang, misalkan seorang yang berdana untuk membantu kebutuhan hidup para anggota Sangha atau menyumbangkan untuk pembangunan maupun perbaikan vihara dan lain-lain. Hal ini akan mengurangi uang yang dimiliki, hasilnya akan diperoleh sifat-sifat luhur saat itu juga, hanya akibatnya tidak terlihat oleh mata biasa tetapi dapat dilihat dengan mata batin yang mengerti.

Bagi orang yang melakukan kejahatan, saat itu juga mendapat kejahatan dan sifat-sifat jahat secara langsung. Kalau terlihat sifat jahatnya oleh orang lain, maka orang-orang menyebutnya penjahat. Meskipun seorang penjahat memiliki uang bermilyar-milyar dan berkuasa di bumi ini, ia tetap disebut penjahat. Jadi, kalau ada yang mengatakan mengapa orang yang berbuat jahat tetapi hidupnya enak, kaya raya dan bahagia, hal ini kurang tepat sebab kita mungkin hanya melihat segi luarnya saja yang terlihat dari nilai-nilai duniawi.

Padahal dari sudut Dhamma, seorang perampok, koruptor, pembunuh dan lain-lain, batinnya penuh dengan tumpukan kamma buruk yang suatu saat bila sudah tiba waktunya masak, seorang penjahat tidak bisa lari dari akibat hukum kamma yaitu penderitaan, kesedihan, ratap tangis, penyesalan, siksaan lahir dan batin di saat usia tuanya, atau nanti setelah meninggal dunia dan terlahir kembali di alam menyedihkan, alam neraka, Avici, Asura, Peta atau ke alam binatang.

Seseorang berbuat jahat meskipun tidak diketahui oleh orang lain, sesungguhnya diketahui oleh diriya sendiri dan tidak bisa dipungkiri.

Umpama, seorang playboy mendapatkan jodoh seorang perawan tua yang kaya, mempunyai mas berlian, uang yang banyak, maka kedudukannya naik lebih tinggi dan hidup boros dengan kekayaan istrinya. Oleh masyarakat dikatakan bahwa playboy itu mendapatkan kebaikan dimana kamma baiknya berbuah tiba-tiba dengan jodoh perawan tua yang kaya sehingga hidupnya bahagia.

Contoh lain, seorang wanita cantik tiba-tiba menjadi istri muda seorang jutawan yang perutnya gendut, punya banyak harta benda dan uang, maka masyarakat mengatakan wanita cantik itu mendapat kebaikan, kamma baiknya telah masak dan berbuah sehingga ia hidup bahagia.

Dari dua contoh di atas, kita sudah salah menilai atau mengartikan, mengapa? Sebenarnya kedua orang dalam contoh di atas yakni seorang playboy dan wanita cantik hanya mendapat uang dan harta benda, bukan berarti mendapat sifat-sifat luhur dan mulia, dipuji karena mendapatkan uang dan harta benda, tidak sama dengan dipuji karena mendapat sifat luhur dan mulia.

Kebanyakan masyarakat masih kurang luas wawasannya, salah dalam menilai segi-segi Dhamma, hanya mengukur dari segi ekonomi yang terlihat oleh mata, padahal mendapatkan sifat-sifat luhur sangat berbeda dengan mendapatkan uang atau harta benda.

Para arif bijaksana mengatakan seorang yang mendapat uang dan harta benda yang banyak adalah akibat kamma baik masa lalu yang berbuah sekarang. Marilah kita renungkan dan selidiki terus menerus.

Bagaimana caranya seseorang mendapat uang atau harta benda yang banyak dan bagaimana pula caranya seseorang mendapat sifat-sifat luhur atau mulia? Coba renungkan dulu. Setiap orang ada kemungkinan mendapat uang yang banyak dikarenakan kamma baik di masa lampau yang berbuah sekarang, misalnya tiba-tiba mendapatkan Undian berhadiah 1 milyar, kawin dengan orang kaya, mendapat warisan orang tua, menemukan emas berlian yang tertimbun di dalam tanah, dan lain-lain.

Hal itu hanyalah segi duniawi yang tidak kekal sifatnya juga tidak menjamin bisa membawa kea lam surga para dewa, bila kita meninggal nanti. Uang dan harta benda meskipun banyak tidak dapat dibawa ke alam selanjutnya. Namun demikian, bila seorang memiliki sifat-sifat luhur dan mulia adalah kekal sifatnya, meskipun tidak terlihat oleh mata. Tetapi kelak bila sudah meninggal dunia, sifat-sifat luhur dan mulia inilah yang akan mengantarkan kita ke alam yang menyenangkan.

Banyak cara untuk mendapatkan uang dan harta benda yang banyak di jaman sekarang ini misalnya berdagang barang-barang, bermain judi, menipu orang lain, korupsi, memeras orang bodoh dengan menggunakan pangkat dan jabatan, menjadi lintah darat, perampok dan lain-lain.

Kesimpulannya, seorang mendapatkan uang dan harta benda yang banyak tidak harus dengan perbuatan baik, kejujuran, sifat-sifat luhur dan mulia, menolong orang lain; jelas sekali bahwa perbuatan jahat bahkan lebih cepat kaya raya, tetapi sebaliknya seorang yang ingin mendapatkan sifat-sifat luhur dan mulia, tidak bisa dengan melakukan perbuatan jahat seperti contoh tadi di atas. Tapi harus dengan melakukan baik saja dengan tulus hati serta berpengertian yang benar sesuai dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Seorang yang memiliki uang dan harta benda yang banyak belum tentu disebut orang yang memiliki sifat-sifat luhur dan mulia, hanya disebut orang biasa yang kaya. Namun seorang yang memiliki sifat mulia meskipun tidak mempunyai banyak uang, pasti dipuji dan ia dipuji melebihi orang kaya, pergi kemanapun banyak orang yang berebutan mau mengantar dan menghormatinya.

Karenanya, melalui uraian ini, semoga umat Buddha lebih maju di dalam Dhamma yang bearti mulai lebih bersemangat lagi untuk berbuat kebajikan sehingga kelak memiliki sifat-sifat luhur, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

Ingatlah, perbuatan baik akan mendapat kebaikan dan perbuatan jahat akan mendapat kejahatan. Jangan mengartikan hukum kamma ajaran Sang Buddha, dengan berpendapat bahwa, “Mengapa perbuatan baik tidak mendapatkan uang?”

Inilah Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, “Indah pada mulanya, indah pada pertengahannya dan indah pula pada akhirnya yaitu Nibbana.”

Semoga saudara-saudari berbahagia.

Sumber