Oleh: Phra Vongsin Labhiko Thera
Para pembaca yang saya hormati.
Negara Thailand terkenal dengan sebutan “Negara Buddhis” yang tentunya banyak sekali vihara, baik di kota, desa-desa, bukit-bukit, gunung-gunung hingga di gua-gua alami, dan juga di hutan-hutan. Boleh jadi sama dengan mesjid di Negara Indonesia. Tempat yang sunyi senyap seperti di sebuah gua/ hutan yang terletak di atas gunung menjadi tempat ideal bagi para Bhikkhu dan Samanera dalam berlatih Samadhi untuk mencapai kemajuan bathin.
Demikianlah pengalaman saya yang sering tinggal di gua, dari satu gua ke gua yang lain secara berpindah-pindah, sehingga saya mendapat banyak pengalaman yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan saya merasa kaya dengan pengalaman dari pengembaraan tersebut, meski saya tidak memiliki harta kekayaan, namun kaya dengan pengalaman dari masa pengembaraan tersebut, batin menjadi bahagia dan selalu puas seakan lebih kaya dan lebih berbahagia daripada mereka yang memiliki harta kekayaan. Entah alasan apa, sebab hal ini sulit diukur dan dibandingkan dengan apapun, itulah sebabnya Sang Guru dan siswa-siswanya pada waktu masih hidup, suka tinggal di tempat-tempat seperti tersebut di atas. Walaupun gua besar yang alami merupakan tempat tinggal yang saya sukai, namun saya tidak bisa tinggal selamanya disana sesuka saya sendiri, sebab saya masih punya tugas untuk mengajar dan membimbing para Bhikkhu/ Samanera yang umurnya masih muda-muda. Mereka tinggal di vihara yang letaknya di bawah gua tempat tinggal saya. Biasanya para Bhikkhu/ samanera ini dibimbing oleh ketua Vihara tapi sekarang karena beliau sudah tua dan lemah fisiknya. Akhirnya beliau minta pertolongan saya untuk menggantikannya dalam melanjutkan tugas mulia itu.
Saudara yang berbahagia, bagi saya atau para Bhikkhu/ Samanera, Dhamma Vinaya adalah sebagai batu ujian untuk mengukur sejauh mana Bhikkhu/ Samanera itu dalam mempraktekkan dan menghayati Vinaya, maka bila seorang Bhikkhu tinggal ditengah kelompok Bhikkhu Sangha bersama-sama akan memiliki semangat dalam upaya mempraktekkan Vinaya, menjaga persatuan dan kesatuan, selalu berusaha memelihara kerukunan dan saling mengingatkan bila ada kelalaian dalam Dhamma Vinaya, saling hormat menghormati, selalu mengembangkan cinta kasih. Hal ini merupakan suatu kebahagiaan yang tidak terhingga seperti yang tertulis dalam Paritta suci….” Mestika apapun di dunia ini yang sangat mahal harganya, namun mestika Buddha, Dhamma dan Sangha lebih tinggi nilainya dari mestika apapun di dunia ini.”
Sang Guru mengatakan bahwa tinggal di tempat sunyi adalah sangat baik seperti di hutan alami, gunung atau gua alami. Hal ini karena tempat-tempat tersebut bisa membantu bagi mereka yang berlatih Samadhi agar dapat segera mencapai kemajuan batin. Alasannya bahwa tempat seperti itu jauh dari kebisingan kota yang hiruk pikuk dengan kesibukan duniawi dan tempat yang sunyi adalah sebagian persyaratan dalam berlatih Samadhi, hanya yang mencekam adalah kegelisahan, rasa tersiksa, tidak puas, tidak bahagia dan lain-lain. Padahal, bila mereka sudah mengerti dengan benar bahwa pengaruh kilesa itu justru yang harus kita lawan, kita tundukkan sehingga pengaruh kilesa itu akan hancur semua dan lenyap sama sekali sampai tidak timbul kembali menggoda kita.
Sang Guru mengingatkan bahwa “ Ada dua alasan mengapa aku suka tinggal di tempat yang sepi seperti hutan alami ini, pertama, demi kebahagiaan dalam kehidupan saat ini, dan kedua, demi demi keteladanan bagi generasi penerus.” Namun demikian, bukan berarti bahwa tinggal di kota yang ramai tidak baik dan lain-lain, secara luasnya Sang Guru mengatakan bahwa bagi mereka yang mau berlatih samadhi dengan sungguh-sungguh agara dapat mencapai kemajuan batin adalah tempat sepi yang lebih baik dan setelah kita bisa mengatasi serta menghancurkan kilesa hingga batin menjadi tenang seimbang (Upekkha), maka sebaiknya kita mengabdikan diri untuk melayani umat demi kebahagiaan dan kelestarian Buddha sasana. Inilah yang patut direnungkan dengan sebaik-baiknya.
Bila seorang Bhikkhu yang belum bisa menghancurkan kilesa, pikirannya mudah sekali tergoda oleh nafsu duniawi hingga batin tidak pernah mencapai ketenangan dan tidak mau berlatih Samadhi., lalu mengajar Dhammma kepada umat dan melayani umat, maka hasilnya kurang memuaskan. Lebih dari itu seringkali yang terjadi karena tidak bisa mengendalikan nafsu-nafsunya, akhirnya mencari jalan pintas yaitu meninggalkan jubah keBhikkhuannya (lepas jubah) lalu tidak lama kemudian meminang seorang gadis untuk diajak hidup bersama. Hal ini banyak sekali contoh-contohnya, dan jawabannya adalah bahwa hal demikian tidak dipesankan oleh Sang Guru.
Saudara-saudara seDhamma yang berbahagia, kita tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial, artinya masih tergantung satu dengan yang lainnya. Sebagai manusia kita tidak bisa hidup seorang diri, meskipun orang itu punya kedudukan yang tinggi, sakti, pandai (genius), milyuner, cantik, tampan dan lain-lain. Kebutuhan manusia masih saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, bahkan dengan binatang dan seisi alam semesta. Coba saja renungkan dengan baik. Dengan alasan inilah, maka selayaknya kita harus mencintai dan menghargai semua makhluk tanpa kecuali bahkan tumbuhan dan pohon-pohon besar, tanah, air dan seluruh isi alam semesta ini, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Meskipun sering kali timbul pikiran-pikiran kacau, jenuh dan banyak gangguan serta godaan bila tinggal dengan kelompok Bhikkhu Sangha serta umat di sebuah Vihara. Tapi semua ini ada hikmahnya, ada manfaatnya bahwa disinilah hasil apa yang telah dicapai yakni kemajuan batin harus diuji kemampuannya untuk mengatasi dan mengendalikan nafsu-nafsu keinginan, pikiran kacau, gelisah, jenuh dan lain-lain.
Selain itu ada manfaatnya bila kita hidup di tengah-tengah masyarakat dan kelompok Bhikkhu Sangha antara lain bila kita sakit mendadak, adanya kebutuhan mendadak dan lain-lain, maka mereka akan segera menolong dan membantunya. Dengan demikian bearti hambatan dan rintangan tersebut akan secepatnya bisa diatasi.
Tinggal di tempat sepi sendirian memang lebih bahagia sebab jauh dari gangguan dan godaan, tapi seorang Bhikkhu punya tugas dan rasa tanggung jawab terhadap umat yang membutuhkan pertolongan, terutama tugas membabarkan Dhamma. Tugas ini adalah sangat mulia yang mesti diterima dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Bila seorang Bhikkhu sudah bisa menjalankan dua kewajiban dalam hidupnya, yaitu pertama, menyepi atau berlatih samadhi setelah berhasil lalu mengabdikan diri pada umat, maka kehidupannya terasa benar-benar berarti. Dengan kata lain bahwa hidupnya tidak sia-sia hanya untuk kepentingan sendiri. Seperti contohnya seorang Raja yang bijaksana kalau tinggal di hutan yang sepi selama hidupnya berarti kedudukan dan kebijaksanaannya tidak berguna sama sekali, sebab tidak mau diamalkan untuk kepentingan rakyatnya. Demikian pula seperti batu permata berlian yang tinggi nilainya tapi kalau dibuang di selokan atau dipendam dalam tanah berarti nilai keindahannya tidak ada yang tahu. Tapi sebaliknya kalau batu permata berlian tersebut dipakai sebagai kalung atau cincin yang sering terlihat oleh orang lain, maka atau permata berlian tersebut terlihat keindahannya oleh semua orang yang melihatnya. Akhirnya permata berlian itu dikagumi, dihargai dan disanjungi.
Tinggal di tengah-tengah kelompok Bhikkhu dan masyarakat luas juga pandai-pandai membawa diri, artinya harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana kita berada. Disinilah Dhamma mesti diterapkan seperti sila, samadhi dan panna. Dengan pedoman Dhamma yaitu sila, samadhi dan panna dalam bermasyarakat, maka kita akan terhindar dari akusala kamma (perbuatan buruk) yang mengakibatkan penderitaan, tapi sebaliknya akan memperoleh kebahagiaan ditambah lagi dengan mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang, saling menghormati, suka menolong dan membantu yang membutuhkan, rendah hati, maka kita akan dikenal sebagai orang yang budiman atau memiliki sifat mulia/ luhur. Namun demikian ada pula orang yang disebut sampah masyarakat, penjahat yang suka merampok, mencuri, menipu dan lain-lian. Orang macam ini harus dibuang atau diasingkan di tempat yang jauh dari masyarakat, supaya mereka menyadari bagaimana rasanya orang yang jauh dari masayarakat.
Biasanya para penjahat kalau tertangkap lalu kena hukuman masuk penjara di tempat yang jauh. Kehidupannya tidak bebas lagi seperti orang yang baik. Kadang-kadang dalam penjara dididik keterampilan kerja. Hal ini merupakan cara kemanusiaan untuk mendidik dan mengajarkan mereka agar bisa menjadi orang baik dan berguna.
Para pembaca yang budiman, saya selalu bergaul dengan siapa saja sambil menganjurkan dan menyampaikan Dhamma dengan rasa cinta kasih dan kekeluargaan agar mereka bisa bersama-sama dengan saya mempraktekkan Dhamma dengan kemampuannya. Alasannya ialah karena hidup ini penuh dengan bahaya, kalau kita mau menyadari dengan pengertian benar bahwa sesungguhnya hidup kita selalu terancam bahaya setiap saat, apakah bahaya itu?
Bahaya disini artinya godaaan/ rangsangan nafsu indera kita melalui mata, telinga, lidah, kulit, dan pikiran yang selalu menyeret kita masuk ke dalam api keserakahan dan lain-lain. Seringkali kita lengah tanpa disadari selalu mengikuti godaan tersebut. Karena itu Dhamma adalah sebagai pedoman hidup kita. Dengan selalu ingat Dhamma dan mempraktekkan setiap saat, maka kita akan selamat dan terhindar dari bahaya tersebut.
Setiap orang tidak sama sifatnya, ada yang baik, ada yang tidak baik, seperti halnya seorang Bhikkhu yang bernama “Waraha” yang sifatnya sombong, egois, dan sukar dinasehati karena merasa dirinya dari keluarga orang kaya/ jutawan, hingga sering kali membuat masalah dengan teman-temannya.
Pada suatu hari seorang Bhikkhu yang bernama “Subhuti” melapor kepada saya setelah bertengkar dengan Bhikkhu Waraha. Maksudnya agar Bhikkhu Waraha menghentikan kelakuan buruknya yang sering membuat keributan sebab sering melanggar Vinaya. Maka suatu malam setelah selesai puja bakti sore, saya mengajak dia untuk datang ke kuti saya berbincang-bincang dalam Dhamma, lalu dilanjutkan tanya jawab dan wejangan Dhamma dengan Bhikkhu Waraha sebagai berikut: “ Oh, Waraha yang baik, saya punya pandangan begini, bahwa seseorang yang terlahir di lingkungan keluarga jutawan dan terhormat di masyarakat, pasti orang tuanya mendidik dengan baik dan benar. Ia akan disekolahkan hingga mencapai gelar/ titel atau berpendidikan tinggi. Apalagi orantuanya terhormat, tentunya anak tersebut memiliki sifat mulai/ luhur yaitu rendah hati, suka menolong, ramah tamah, dan tidak sombong, mudah bergaul dengan siapa saja, mau memaafkan kesalahan orang lain, bersedia menerima nasehat dari orang yang lebih tua, saling menghargai, selalu hormat dan tunduk kepada orang yang lebih tua dan patuh pada peraturan. Tapi bukan sebaliknya jadi orang yang sulit dinasehati, suka membantah, sombong terhadap siapa saja sebab merasa menjadi orang yang terhormat dan lain-lain. Jadi tidak pernah pernah berbuat salah sedikitpun, perkataannya benar, tingkah lakunya terpuji. Inilah pandangan saya, lalu bagaimana menurut anda, Bhikkhu Waraha?”
Bhikkhu Waraha mendapat kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, lalu berkata : “Yang Mulia Bhante, saya baru saja masuk dalam Dhamma Vinaya (kehidupan Samana), dan baru belajar sambil praktek Dhamma Vinaya. Saya belum punya pengetahuan luas dan dalam tentang Dhamma seperti yang lain. Tapi setahu saya yang pernah mendengar dan melihat ternyata pada umumnya biasa-biasa saja. Setiap orang ada kekurangan dan kelebihannya. Jadi suatu kesalahan pasti ada saja, baik sedikit maupun banyak. Saya rasa tidak ada seorangpun yang sempurna dalam tingkah-lakunya, baik ucapan maupun perbuatannya”.
Lalu saya kembali membuat pertanyaan : “Jika demikian berarti menurut anda bahwa semua orang pasti ada melakukan kesalahan besar maupun kecil, betul tidak Waraha?”
“Betul Bhante”, Bhikkhu Waraha menjawab tegas.
“Kalau begitu, baik anda maupun saya sama-sama masih melakukan kesalahan, baik sengaja maupun tidak, betul tidak?” saya menjawab lagi.
“Betul Bhante, saya juga mungkin ada kesalahan atas kelalaian yang disadari maupun tidak”, jawab Bhikkhu Waraha dengan muka cerah, penuh pengakuan.
Bila memperhatikan dia hingga terlihat seolah dia menang, saya bertanya lagi, “Oh Waraha yang baik, kalau ada Bhikkhu lain menegurmu dan menunjukkan kesalahanmu dengan harapan agar anda mau menerima, lalu memperbaiki diri menjadi lebih baik dalam praktek Dhamma Vinaya tapi nyatanya mengapa anda marah terhadap yang menegur?” Bhante muda itu duduk diam.
“Sesungguhnya saya tidak berbuat salah apa-apa, tapi Bhikkhu yang lebih tua karena merasa sudah lama menjadi Bhikkhu selalu selalu mencari-cari kesalahan saya. Rupanya mereka itu menjadi orang yang terlalu banyak mencela dan mengkritik orang lain saja.”
“Oh, Waraha yang baik, renungkanlah baik-baik dulu. Sesungguhnya kita tidak bisa melihat seluruh tubuh kita sendiri walaupun sambil duduk lalu berdiri di depan kaca cermin. Kita hanya bisa melihat bagian depan saja tapi bagian belakang tidak bisa dilihat. Demikian pula dengan kelakuan kita. Kita hanya bisa menilai yang baiknya saya, tapi bagian yang tidak baik kadang-kadang kurang diperhatikan dan disembunyikan. Kemudian ketika orang lain menunjukkan kesalahan kita, biasanya kita tidak terima. Kita jadi tidak senang pada orang yang bermaksud memperbaiki kesalahan kita karena kita terlalu cinta pada diri sendiri, egois dan tersinggung lalu marah dan menimbulkan pertengkaran. Padahal orang lainlah yang mengetahui keseluruhan kelakuan kita baik yang baik maupun yang buruk (ibarat cermin). Sebenarnya kita tidak boleh marah pada mereka tapi sebaliknya kita harus berterima kasih sebab dengan demikian kita bisa tahu segala kesalahan dan kekurangan kita, untuk selanjutnya tidak mengulanginya lagi.”
“Oh, Waraha yang bijaksana, seandainya ada seorang pemuda di wajahnya ada kotoran, tapi dia sendiri tidak tahu dan tidak melihatnya dari cermin. Pemuda ini merasa mukanya bersih. Orang lain yang berselisih jalan akan melihat noda kotoran di muka pemuda tersebut dan langsung memberitahukannya supaya mukanya dicuci agar bersih dari kotoran. Tapi ternyata pemuda itu marah dan menghina dengan kata-kata kasar karena merasa dipermalukan. Bagaimana pendapat anda Waraha? Pemuda tersebut betul atau salah?”
“Tentu saja pemuda itu salah. Ia tidak mau menerima maksud baik orang lain yang mau memperbaikinya, Bhante.”
“Jadi, cara yang benar itu harus bagaimana?”, saya bertanya lagi.
Bhikkhu Waraha menjawab, “Pemuda itu harus mau menerimanya dan memeriksa muka yang kotor yang ditunjukkan oleh orang lain. Setelah merasa ada bukti kotoran tersebut, langsung mencucinya hingga bersih.”
“Waraha yang baik, biasanya para pandita (orang bijaksana dan memiliki tingkah laku baik) mau menerima dan menghargai kritikan, celaan, teguran, hinaan, dan lain-lain, dan dianggap lebih bernilai daripada pujian sebab hal itu bisa menggugah semangat untuk meningkatkan kewaspadaan serta lebih hati-hati penuh pengendalian. Sebaliknya pujian bisa membuat orang terlena, manja, tidak mau meningkatkan usaha lagi, bahkan bisa menimbulkan kesombongan dan akhirnya ia akan lupa diri. Pujian ibarat racun yang sangat membahayakan, bisa mematikan dan sangat merugikan kita”.
Saudara-saudara seDhamma yang baik, sampai di sisni Bhikkhu Waraha baru sadar setelah mendengar uraian Dhamma dari saya. Dengan muka tersenyum dan cerah ia berkata, “Yang Mulia Bhante, sekarang saya sadar dan terima kasih. Bhante seolah-olah telah menunjukkan gudang harta karun bagi kehidupan saya, sungguh tidak ternilai, ibarat saya orang miskin yang sering kelaparan. Lalu Bhante menunjukkan harta karun untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan, bahkan sampai menjadi orang kaya yang bahagia dalam Dhamma. Sungguh beruntung saya bisa bertemu Bhnate dalam hidup ini. Hal ini merupakan pelajaran dan kekal dalam menempuh kehidupan sekarang maupun nanti. Saya mohon maaf bila ada kesalahan baik sengaja maupun tidak terhadap teman-teman. Semoga saya bisa memperbaiki dan mengendalikan perbuatan buruk yang sering saya lakukan untuk selalu ingat Dhamma yang indah ini agar saya bisa hidup bahagia dalam duniawi maupun Dhamma. Saya ucapkan banyak terima kasih atas nasehat Bhante.”
“Sadhu, Waraha, saya ikut anumodana dengan tulus hati.”
Para pembaca yang berbahagia, sejak hari itu sifat Bhikkhu Waraha berubah total. Ia menjadi Bhikkhu yang pendiam, tenang, selalu gembira, dan puas hati menerima teguran dari rekan-rekan sepenghidupan suci.
Jadi, Vihara tempat saya bertugas ini, sekarang menjadi damai, penuh kekeluargaan, baik kehidupan para anggota Sangha dengan Upasaka-upasikanya. Akhirnya Vihara yang meskipun kecil tapi banyak pengunjungnya, apalagi pada hari-hari Uposatha.
Kesimpulan :
Para pembaca yang saya hormati, kebanyakan orang tidak mau meneliti diri sendiri dengan berpedoman kepada Dhamma, maka mereka berpandangan bahwa dirinya saja yang lebih baik, yang paling benar. Kalau melihat orang lain mencari kesalahan dan kekurangannya saja, bila dirinya salah tidak mau mengakui dan menerimanya. Meskipun sudah dikritik dan ditunjukkan kesalahannya selalu mengelak dan menutupi kesalahannya dengan berbagai cara, bahkan marah hingga berbalik menyerang, menimbulkan pertengkaran dan mau menghancurkan yang mengkritik. Selalu berusaha dengan penampilan meyakinkan, pendiam, bertingkah laku halus, ramah penuh pujian, bila diajak bicara dengan maksud-maksud tertentu dan bukan bicara sejujurnya, orang seperti ini berpandangan picik dan munafik. Ia mau mau benar sendiri dan menganggap orang lain salah dan bodoh. Penuh kepalsuan, tidak jujur, kalau bicara dalam Dhamma, berlawanan dengan apa yang dikatakannya, hanya mau mencari keuntungan untuk diri sendiri saja. Orang yang berpandangan picik dan munafik ini sangat membahayakan dan merugikan orang lain. Inilah yang dikatakan oleh Sang Guru, “Asevana ca balanang ... artinya jangan bergaul dengan orang-orang jahat.”
Semoga dengan uraian Dhamma ini para pembaca semakin maju dalam Dhamma.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.
Wednesday, November 26, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment