Oleh : Phra Vongsin Labhiko
Dewasa ini sering kita mendengar orang berkata tentang hukum kamma ajaran Sang Buddha, perbuatan baik akan mengakibatkan kebaikan/ kebahagiaan, dan perbuatan buruk akan mengakibatkan penderitaan. Namun sebagian orang masih bimbang dan ragu, dengan mengatakan bahwa perbuatan baik itu tidak mendapat kebaikan yang benar. Seperti pengalaman yang telah dialami seseorang, dan Ia mengatakan demikian :
Saya yang selalu berusaha melakukan kebaikan dari kecil hingga dewasa, melaksanakan Pancasila, Atthasila, berlaku jujur, tidak pernah licik terhadap siapa pun, sering ke vihara, suka sembayang pagi-sore dan meditasi, suka berdana, suka menolong orang-orang yang mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Tapi hasilnya ternyata hidup saya masih miskin, tidak punya tempat tinggal yang megah, tidak punya mobil, tidak punya banyak uang, bahkan kalau ingin membeli sesuatu yang merupakan kebutuhan keluarga harus berpikir berulang-ulang kali, hal ini disebabkan karena kondisi ekonomi, bahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut sampai harus memeras tenaga sampai keringat keluar dari tangan saya. Anak-anak kami tidak dapat meneruskan sekolah karena tidak ada biaya, oh…saya ini hidup susah sekali.
Namun sebaliknya ada orang yang jahat seperti pembunuh, perampok, yang berkelakuan sifatnya merusak seperti tidak kenal agama, tidak pernah berbuat baik, tidak mau menolong orang yang sedang susah, dan lain-lain. Tetapi mengapa hidupnya kaya raya, rumahnya mewah bagaikan istana, mobilnya banyak dan dengan harga yang mahal, kalau makan sering di restoran besar, anak-anaknya sekolah sampai ke luar negeri. Pernahkah anda melihat hal seperti itu?
Kalau melihat kenyataan yang demikian, seolah-olah orang yang berbuat jahat itu itdak menerima akibat perbuatannya yaitu penderitaan, seperti yang sering dikhotbahkan oleh para Bhikkhu. Bagaimana menurut anda tentang hal ini?
Para arif bijaksana menerangkan bahwa mungkin karena akibat/ pahala perbuatan baik di masa lampau berbuah atau masih melindungi, maka mereka bisa hidup pada saat ini berkecukupan, dan bahkan mewah serta bergelimangan harta. Tapi bukan berarti buah perbuatan baik atau buruk tidak membawa akibat, pasti ada akibatnya. Hanya waktunya belum sampai, manusia yang kurang sabar menunggu, maunya melihat hasil dengan segera. Hukum kamma itu pasti adil, kalau tidak dalam kehidupan sekarang pasti dalam kehidupan yang akan datang, kita harus tenang dan berhati dingin, kita jangan salah mengerti atau salah pandangan mengenai ajaran Sang Buddha.
Sang Buddha mengajarkan bahwa, “Siapa berbuat baik maka ia akan mendapatkan kebaikan atau kebahagiaan, sedangkan siapa berbuat jahat, ia akan mendapatkan kejahatan atau penderitaan”. Kita jangan salah mengerti bahwa berbuat baik akan mendapatkan uang atau imbalan tetapi kita harus merenungkan pelan-pelan, apakah hal itu benar atau tidak?
Perbuatan baik akan mendapatkan kebaikan, bila manusia sering berbuat baik dan tidak mendapatkan uang sebagai buah perbuatannya maka ia akan berpikir terus mengapa demikian? Namun kita pun harus berpikir usaha kita berbuat baik sampai dimana, dapatkah berakibat langsung mendapatkan buah dari hasil perbuatan baik tersebut dalam kehidupan ini yakni menjadi orang kaya raya yang memiliki banyak uang untuk dapat membeli mobil sedan, membangun rumah mewah dan indah, untuk berbelanja ke tempat-tempat exclusif, untuk makan di restoran-restoran besar yang terkenal dan lain-lain. Dan sebagian orang akan berpikir pula, tentang orang yang berbuat jahat kapan akan menerima akibatnya. Kenyataannya semua orang tahu ia menjadi pengusaha dan berkuasa, punya banyak uang dan harta lainnya yang berlimpah ruah, dipuja dan dihormati orang, tidak pernah melihat ia miskin atau dalam kesusahan.
Dengan adanya kenyataan yang saya lihat tersebut, kadang-kadang saya berpikir berulang kali dan timbul keraguan tentang hukum kamma. Oh…., sungguh sangat kasihan bagi mereka yang berpikir demikian. Jangan terburu-buru berpandangan demikian, dinginkan pikiran dulu kalau ingin merenungkan ajaran Sang Buddha. Sebenranya orang yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan, bukan mendapatkan “uang”. “Kebaikan dan uang “ itu bukan barang yang sama, mengapa kita berpikir bahwa berbuat baik harus mendapatkan uang.
Jika seseorang melakukan kebaikan dengan tulus hati, tanpa rasa terpaksa, tidak ingin memperoleh imbalan pasti ia akan memperoleh buah kebaikan secara langsung saat itu, yang berakibat timbulnya sifat-sifat mulai. Begitu pula orang yang jujur terhadap segala sesuatu maka ia akan mendapat sifat kejujuran dengan segera, tidak usah menunggu sampai kehidupan yang akan datang, tetapi pada detik ia melakukan akan memperoleh akibat kebaikan dan bukan menghasilkan “uang”.
Ada beberapa perbuatan baik yang dapat menutup kesempatan untuk mendapatkan uang atau bahkan mengorbankan uang dalam berbuat baik, misalnya seorang dokter yang berkorban dalam tugas kemanusiaan jauh di desa-desa terpencil. Selain tidak mendapat hasil yang memadai, ia justru banyak mengalami kesukaran misalnya dalam perjalanan disebabkan penduduknya merupakan para transmigran di daerah yang sulit dijangkau dan masih baru.
Padahal kalau dokter tersebut buka praktek di kota besar akan cepat kaya, tetapi karena kesukarelaannya dan ketersediaannya berkorban demi kesehatan semua orang, ia rela melepaskan kesenangan dan kesempatan mendapatkan banyak uang. Hal ini berarti dokter menjalankan sifat-sifat mulia sehingga pada akhirnya namanya cepat terkenal, dipuji dan menjadi suri tauladan yang baik bagi semua orang. Ini merupakan akibat langsung yang diterima dari perbuatannya.
Contoh lain, para bhikkhu dan samanera yang rela melepaskan kehidupan duniawi untuk mengabdikan diri dan menjalankan hidup kesucian yang sesuai dengan Dhamma Vinaya, anggota Sangha yang bertugas menyebarkan Dhamma ajaran Sang Buddha, menunjukkan jalan hidup yang benar kepada umat agar bisa terlepas dari penderitaan lahir dan batin.
Hal-hal di atas merupakan contoh perbuatan baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain dimana hasilnya atau pahalanya tidak ternilai dan akibatnya akan diterima dalam kehidupan sekarang juga, tetapi bukan mendapatkan “uang” untuk menjadi orang kaya.
Dari semua contoh di atas, diuraikan agar saudara-saudara semua tahu dan mengerti dengan benar, bisa melihat buktinya dalam kehidupan saat ini, bahkan dengan berbuat baik selain hilang kesempatan mendapatkan uang malah mengorbankan uang, misalkan seorang yang berdana untuk membantu kebutuhan hidup para anggota Sangha atau menyumbangkan untuk pembangunan maupun perbaikan vihara dan lain-lain. Hal ini akan mengurangi uang yang dimiliki, hasilnya akan diperoleh sifat-sifat luhur saat itu juga, hanya akibatnya tidak terlihat oleh mata biasa tetapi dapat dilihat dengan mata batin yang mengerti.
Bagi orang yang melakukan kejahatan, saat itu juga mendapat kejahatan dan sifat-sifat jahat secara langsung. Kalau terlihat sifat jahatnya oleh orang lain, maka orang-orang menyebutnya penjahat. Meskipun seorang penjahat memiliki uang bermilyar-milyar dan berkuasa di bumi ini, ia tetap disebut penjahat. Jadi, kalau ada yang mengatakan mengapa orang yang berbuat jahat tetapi hidupnya enak, kaya raya dan bahagia, hal ini kurang tepat sebab kita mungkin hanya melihat segi luarnya saja yang terlihat dari nilai-nilai duniawi.
Padahal dari sudut Dhamma, seorang perampok, koruptor, pembunuh dan lain-lain, batinnya penuh dengan tumpukan kamma buruk yang suatu saat bila sudah tiba waktunya masak, seorang penjahat tidak bisa lari dari akibat hukum kamma yaitu penderitaan, kesedihan, ratap tangis, penyesalan, siksaan lahir dan batin di saat usia tuanya, atau nanti setelah meninggal dunia dan terlahir kembali di alam menyedihkan, alam neraka, Avici, Asura, Peta atau ke alam binatang.
Seseorang berbuat jahat meskipun tidak diketahui oleh orang lain, sesungguhnya diketahui oleh diriya sendiri dan tidak bisa dipungkiri.
Umpama, seorang playboy mendapatkan jodoh seorang perawan tua yang kaya, mempunyai mas berlian, uang yang banyak, maka kedudukannya naik lebih tinggi dan hidup boros dengan kekayaan istrinya. Oleh masyarakat dikatakan bahwa playboy itu mendapatkan kebaikan dimana kamma baiknya berbuah tiba-tiba dengan jodoh perawan tua yang kaya sehingga hidupnya bahagia.
Contoh lain, seorang wanita cantik tiba-tiba menjadi istri muda seorang jutawan yang perutnya gendut, punya banyak harta benda dan uang, maka masyarakat mengatakan wanita cantik itu mendapat kebaikan, kamma baiknya telah masak dan berbuah sehingga ia hidup bahagia.
Dari dua contoh di atas, kita sudah salah menilai atau mengartikan, mengapa? Sebenarnya kedua orang dalam contoh di atas yakni seorang playboy dan wanita cantik hanya mendapat uang dan harta benda, bukan berarti mendapat sifat-sifat luhur dan mulia, dipuji karena mendapatkan uang dan harta benda, tidak sama dengan dipuji karena mendapat sifat luhur dan mulia.
Kebanyakan masyarakat masih kurang luas wawasannya, salah dalam menilai segi-segi Dhamma, hanya mengukur dari segi ekonomi yang terlihat oleh mata, padahal mendapatkan sifat-sifat luhur sangat berbeda dengan mendapatkan uang atau harta benda.
Para arif bijaksana mengatakan seorang yang mendapat uang dan harta benda yang banyak adalah akibat kamma baik masa lalu yang berbuah sekarang. Marilah kita renungkan dan selidiki terus menerus.
Bagaimana caranya seseorang mendapat uang atau harta benda yang banyak dan bagaimana pula caranya seseorang mendapat sifat-sifat luhur atau mulia? Coba renungkan dulu. Setiap orang ada kemungkinan mendapat uang yang banyak dikarenakan kamma baik di masa lampau yang berbuah sekarang, misalnya tiba-tiba mendapatkan Undian berhadiah 1 milyar, kawin dengan orang kaya, mendapat warisan orang tua, menemukan emas berlian yang tertimbun di dalam tanah, dan lain-lain.
Hal itu hanyalah segi duniawi yang tidak kekal sifatnya juga tidak menjamin bisa membawa kea lam surga para dewa, bila kita meninggal nanti. Uang dan harta benda meskipun banyak tidak dapat dibawa ke alam selanjutnya. Namun demikian, bila seorang memiliki sifat-sifat luhur dan mulia adalah kekal sifatnya, meskipun tidak terlihat oleh mata. Tetapi kelak bila sudah meninggal dunia, sifat-sifat luhur dan mulia inilah yang akan mengantarkan kita ke alam yang menyenangkan.
Banyak cara untuk mendapatkan uang dan harta benda yang banyak di jaman sekarang ini misalnya berdagang barang-barang, bermain judi, menipu orang lain, korupsi, memeras orang bodoh dengan menggunakan pangkat dan jabatan, menjadi lintah darat, perampok dan lain-lain.
Kesimpulannya, seorang mendapatkan uang dan harta benda yang banyak tidak harus dengan perbuatan baik, kejujuran, sifat-sifat luhur dan mulia, menolong orang lain; jelas sekali bahwa perbuatan jahat bahkan lebih cepat kaya raya, tetapi sebaliknya seorang yang ingin mendapatkan sifat-sifat luhur dan mulia, tidak bisa dengan melakukan perbuatan jahat seperti contoh tadi di atas. Tapi harus dengan melakukan baik saja dengan tulus hati serta berpengertian yang benar sesuai dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Seorang yang memiliki uang dan harta benda yang banyak belum tentu disebut orang yang memiliki sifat-sifat luhur dan mulia, hanya disebut orang biasa yang kaya. Namun seorang yang memiliki sifat mulia meskipun tidak mempunyai banyak uang, pasti dipuji dan ia dipuji melebihi orang kaya, pergi kemanapun banyak orang yang berebutan mau mengantar dan menghormatinya.
Karenanya, melalui uraian ini, semoga umat Buddha lebih maju di dalam Dhamma yang bearti mulai lebih bersemangat lagi untuk berbuat kebajikan sehingga kelak memiliki sifat-sifat luhur, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
Ingatlah, perbuatan baik akan mendapat kebaikan dan perbuatan jahat akan mendapat kejahatan. Jangan mengartikan hukum kamma ajaran Sang Buddha, dengan berpendapat bahwa, “Mengapa perbuatan baik tidak mendapatkan uang?”
Inilah Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, “Indah pada mulanya, indah pada pertengahannya dan indah pula pada akhirnya yaitu Nibbana.”
Semoga saudara-saudari berbahagia.
Sumber
Tuesday, November 25, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment