Sunday, November 30, 2008

Kamma Ini Punya Siapa?

Oleh : Phra Wongsin Labhiko Mahathera

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun bahwa dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang kekal; siang akan berganti dengan malam, mentari terbit dan akhirnya tenggelam, kuncup bunga mekar merekah dan akhirnya layu jatuh berguguran di hamparan bumi, pertemuan selalu diakhiri dengan perpisahan, begitu pula dengan kita tidak akan hidup selamanya, suatu saat nanti kematian kan datang jua menjemput si pemilik kamma.

Salah satu persoalan yang biasa timbul dalam pikiran semua orang yang dapat berpikir secara normal, yaitu persoalan kematian. Paling sedikit satu kali semasa hidupnya pernah berpikir tentang kematian itu bagaimana? atau “bila sudah meninggal saya akan kemana?” pemikiran semacam ini kadang disertai dengan rasa takut.

Kerap kali hal ini tidak dapat dijawab, karena belum pernah merasa meninggal atau tidak ingat lagi bahwa pernah berulang kali mengalami kelahiran dan kematian. Jelasnya tidak tahu ada apa dan bagaimana setelah kematian.

Ada beberapa peristiwa sehubungan dengan kematian, seseorang yang telah meninggal dapat menghubungi mereka yang masih hidup meskipun kemunculannya tidak secara sempurna, namun dia dapat menceritakan apa yang dialaminya, dan dapat memberikan identitas dirinya semasa hidup di alam manusia.

Ada pula orang yang dinyatakan meninggal lalu ternyata hidup kembali, bahkan dia dapat menceritakan pengalamannya ketika dinyatakan meninggal. Tetapi peristiwa ini tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut diatas juga masih belum bisa menghapus keragu-raguan sebagian orang yang mulai mempercayai bahwa yang dia ceritakan memang kejadian yang sebenarnya.

Satu peristiwa lagi tentang kehidupan sebelum tumimbal lahir berikutnya, cerita dari seseorang yang dapat mengingat kelahirannya yang terdahulu. Tetapi masih tetap menimbulkan keragu-raguan bagi sebagian orang, dengan berpikir bahwa apa yang diceritakan itu hanya permainan pikiran orang itu sendiri atau dia dapat bercerita karena diajarkan oleh orang lain atau mungkin pula apa yang diceritakan itu kejadian yang benar-benar terjadi, dan hal ini sulit untuk membuktikannya.

Peristiwa-peristiwa tentang kelahiran yang terdahulu sebelum tumimbal lahir berikutnya sering diberitakan dalam surat kabar, tetapi sering pula diterima atau dianggap sebagai suatu hal yang mustahil/ tidak mungkin terjadi. Salah satu contoh dari peristiwa seseorang yang dapat mengingat kehidupan yang pernah dialaminya dahulu sebelum kelahirannya sekarang ini, yaitu seorang anak kecil yang lahir di negara India dapat menyebutkan dengan fasih nama suatu daerah di India, padahal anak tersebut baru mulai belajar berbicara sedangkan orangtuanya tidak pernah menyebutkan daerah tersebut untuk mengajarkannya kepada anak mereka, tak lama kemudian anak tersebut mengaku mempunyai pabrik biskuit yang besar di daerah yang ia sebutkan serta mengaku kalau dia telah beristri, disebutkan pula nama istrinya. Setelah diselidiki ucapan anak itu ternyata terbukti kebenarannya.

Beberapa lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di negara-negara Eropa, berminat sekali menyelidiki tentang adanya peristiwa tumimbal lahir. Sampai mengeluarkan biaya dalam jumlah yang besar untuk menyelidiki kebenaran peristiwa-peristiwa semacam itu. Tetapi masih belum mendapat kepastian, berarti masih belum dapat menghapus keragu-raguan akan hal tersebut.

Pada jaman Sang Buddha, sebagian besar mereka yang belum bisa menjawab persoalan ini pergi menghadap Sang Guru, meminta petunjuk dari beliau untuk mendapat jawaban/ penyelesaian. Sang Budha mengajarkan bahwa semua mahluk memiliki kammanya sendiri, mewarisi kammanya sendiri, lahir dari kammanya sendiri, berhubungan dengan kammanya sendiri, dan terlindung oelh kammanya sendiri, apapun kamma yang diperbuat itulah yang diwarisinya.

Kematian menghantarkan mahluk yang belum mencapai kebebasan untuk lahir di alam berikutnya sesuai dengan kamma yang ia miliki, setiap mahluk bertanggung jawab atas kamma yang diperbuatnya, bahagia atau menderita itulah yang akan dialaminya kelak setelah masaknya buah dari perbuatan.

Cerita waktu saya masih remaja, memiliki sedikit kebijaksanaan dan banyak sekali kebodohan yang saya miliki. Ketika itu saya sering bertentangan dengan para Samana/ pertapa juga bertentangan dengan orang-orang dewasa tentang hal-hal yang ada sangkut-pautnya dengan kamma. Saya berpendapat bahwa apa yang disebut kamma itu merupakan suatu kejadian yang kebetulan saja terjadi, surga dan neraka hanya sebuah cerita kuno untuk mengancam atau menakut-nakuti anak-anak agar mudah diatur dan merupakan kata-kata yang berupa ajakan kepada mereka yang kurang berpendidikan, dan tidak memiliki ilmu pengetahuan untuk mempercayainya.

Saudara-saudara, ketika saya menginjak usia dewasa dan mendapat kesempatan untuk belajar dan menyelidiki tentang kamma, timbullah kepercayaan dalam diri saya tentang adanya kamma, semakin dalam saya mempelajari semakin mantap keyakinan saya akan ajaran Sang Buddha. Ketika mempelajari tentang kamma, banyak kejadian-kejadian aneh saya temui yang semula saya tidak mempercayainya, salah satu kejadian tersebut akan saya ceritakan di bawah ini :

Kamma Ini Punya Siapa?

Peristiwa yang pernah terjadi di negara Thailand dengan mayoritas penduduk beragama Buddha diperkirakan 90% penduduk negara tersebut beragama Buddha.

Berdiamlah satu keluarga di sebuah rumah bernomor 102. Desa Tungki, Kabupaten Muang, propinsi Phayau, Thailand Utara. Desa ini merupakan perkampungan yang letaknya jauh dari kota dan dekat dengan hutan. Mata pencaharian mereka bercocok tanam; padi-padian, sayur mayur dan buah-buahan selain itu mereka pun berburu binatang dan mengambil hasil hutan. Di desa ini perekonomian lemah, pada umumnya penduduk disini miskin, pendidikan mereka rata-rata hanya sampai tingkat sekolah dasar saja. Di kala musim hujan telah berlalu, mereka memasuki hutan untuk berburu binatang-binatang, menebang pohon untuk dijadikan bahan bakar sebagian, dari kayu-kayu tersebut dijual, juga mereka mencari rotan serta kayu, daun-daunan dan akar-akaran untuk dijadikan obat ramuan berbentuk jamu.

Penduduk desa ini bukan tergolong orang-orang yang malas, mereka rajin dan semangat dalam mencari nafkah, mereka bekerja keras karena memang didorong oleh keadaan perekonomian mereka yang pas-pasan. Walaupun mereka bekerja keras dan semangat yang tak kunjung reda, keadaan mereka tetap tidak jauh berbeda seperti hari-hari kemarin, banyak faktor yang menyebabkan mereka demikian. Semuanya ini tidak terlepas dari kamma yang membawa mereka lahir dalam kondisi dan posisi yang demikian; kurangnya pendidikan, ekonomi yang lemah, kurang mendapat perhatian dan bantuan dari masyarakat lain juga hal-hal yang bermacam-macam sehingga sulit untuk membuat kemungkinan mereka maju.

Sang Buddha pernah mengatakan : “Kammalah yang dapat memisahkan dan membeda-bedakan mahluk ke tempat yang baik atau buruk”. Barang siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan baik pasti akan lahir di tempat yang penuh dengan kebahagiaan dan siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan buruk pasti akan lahir di tempat yang penuh dengan penderitaan.

Keluarga yang alamatnya tersebut diatas, keadan ekonominya juga seperti apa yang digambarkan, kepala keluarganya bernama Noy Kingkay, istrinya bernama Nangkom. Waktu itu mereka baru berkumpul sebagai pasangan suami istri tiga bulan yang lalu setelah melangsungkan upacara pernikahannya.

Kemiskinan bukan rintangan bagi mereka berdua untuk mengarungi bahtera rumah tangga, mereka telah lama saling jatuh cinta dan berjanji akan saling melindungi serta selalu saling mencintai, persoalan apapun yang timbul dalam kehidupan keluarganya besar atau kecil dan walau serumit serta sesulit apapun akan mereka atasi berdua, saling membantu-menolong, tak akan mundur dan tetap tidak akan berpisah, kecuali kematian yang akan memisahkan mereka. Itulah janji mereka berdua.
Padi sudah dipanen dan telah disimpan dalam lumbung padi, musim hujan telah berlalu, kini tibalah menyongsong musim kemarau, mata pencaharian mereka beralih ke hutan dengan berburu binatang-binatang dan memanfaatkan hasil hutan.

Dalam keadaan kehidupan yang demikian, mereka harus mempunyai peralatan untuk bercocok tanam juga peralatan untuk berburu dan mengambil hasil hutan, diantara peralatan tersebut, mereka memiliki bedil-senapan. Pada suatu hari berangkatlah pak Noy dan seorang temannya ke hutan yang besar dengan membawa bedil dan golok, cuaca cukup baik tidak terlalu panas. Mereka memasuki hutan dengan turun naik gunung yang jaraknya kurang lebih tujuh sampai delapan kilometer dari kampung mereka, hari sudah siang kira-kira pukul 14.00 mereka berhenti berjalan untuk beristirahat karena sudah merasa capai, di bawah pohon besar yang rindang beristirahatlah mereka berdua sambil minum air yang mereka bawa sebagai bekal perjalanan, dari dalam tasnya pak Noy mengeluarkan kantung tempat air minum yang dibuat dari kain kasar, saat tempat air minum itu ia angkat untuk melepas dahaga, matanya melihat seekor binatang di atas pohon. Hai apa itu?

Rupanya seekor kera sedang bertengger di batang pohon sambil melihat sahabat yang baru datang dan beristirahat dibawah pohon rindang sambil minum air pelepas dahaga, sayang sungguh sayang kera itu tidak menyadari bahaya mengintai, manusia yang ia lihat itu merupakan raja kematian yang akan menjemputnya.

Tiba-tiba pak Noy memberi istirahat dengan jari kepada sahabatnya, secepat kilat bedil pak Noy sudah tertuju pada sasaran yang akan menjadi korban tembakannya. Kera yang bernasib malang baru menyadari akan bahaya yang sedang dihadapinya, belum sempat ia melompat ke batang-ranting lain untuk meloloskan diri dari ancaman bahaya peluru-peluru dari bedil pak Noy telah dilepaskan, diiringi dengan dentuman suara yang bergema di dalam hutan. BUMM....!, ciak! dan tup! Jatuhlah kera meluncur menuju tanah yang ditumbuhi rerumputan, mungkin kera itu tidak berpikir bahaya yang ditimbulkan manusia yang dilihatnya itu demikian besar hingga membawa pada kematian.

Setelah dentuman peluru dan jatuhnya kera, pak Noy mengambil tas kain untuk kemudian memasukkan kera tanpa dilihatnya lagi karena yakin kera itu pasti mati oleh beberapa tembakannya. Setelah selesai beristirahat dan menembak kera, mereka melanjutkan perjalanan untuk meneruskan perburuannya terhadap binatang-binatang yang lain, sepanjang perjalanannya mereka tidak menemui mangsa lagi sampai waktu menjelang senja, kedua sahabat ini sepakat untuk keluar hutan dan kembali pulang kerumah. Dalam perjalanan turun naik gunung dan menyeberangi sungai, mereka tidak menyadari tas yang berisi kera itu bergerak-gerak kira-kira dua kilometer lagi sampai ke tempat tujuan, terjadilah peristiwa yang tidak mereka duga sebelumnya. OH ! aduh ! tolong! terdengarlah teriakan dari mulut pak Noy dibarengi dengan wajah yang dipenuhi dengan keterkejutan dan gambaran rasa sakit, sambil tangannya memegang perut sebelah kiri. Apa yang terjadi? Rupanya pak Noy digigit oleh kera hasil buruannya yang semula dikira sudah mati, kera itu rupanya hanya pingsan karena kesakitan peluru yang dilepaskan pak Noy hanya menyerempet tengkuk dan dua peluru bersarang di kaki sebelah kanan, ketika kera siuman rasa sakit masih terasa sekali dan timbul kebencian dalam diri kera tersebut terhadap si pemburu.

Pak Noy dengan dibantu temannya berusaha mengeluarkan kera tersebut dari tas kain dan berhasil kera itu dikeluarkan, rasa sakit yang masih dirasakan akibat gigitan kera, pak Noy dengan penuh kemarahan memegang kera yang sedang menderita akibat tembakannya hingga tak berdaya dan kemudian membanting kera tersebut ke tanah, empat sampai lima kali bantingan dan kera yang tak berdaya itu akhirnya pingsan kembali. Belum! Belum puas hati Noy kemudian ia mengambil golok yang dibawanya tadi lalu memukul kedua kaki depan kera, kiri dan kanan sampai gepeng, bahkan hampir putus kaki kera itu dipukulnya, setelah itu dalam keadaan yang parah, kedua kaki belakang kera masih diikatnya pula dengan tumbuhan menjalar agar tidak bisa mencelakai lagi, kemudian kera tersebut dimasukkan kembali ke dalam tas kain.

Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan pulang dengan rencana yang telah disepakati berdua untuk membuat panggang kera dan sebagian dimasak dengan sayur.

Saudara-saudara, Sang Buddha pernah bersabda; “Barang siapa yang membuat penderitaan bagi mahluk lain, penderitaan itu akan mengikutinya”.

Waktu berjalan sebagaimana mestinya tanpa dapat menunggu apa dan siapapun, tak terasa waktu dilalui dari hari ke hari cukup lama peristiwa penganiayaan kera telah lewat, bersamaan dengan itu pula istri pak Noy atau ibu Nangkom sedang hamil tiga bulan dengan masih menunjukkan gejala mual dan muntah-muntah sebagaimana biasanya wanita yang sedang hamil, mereka merasakan kebahagiaan, mungkin sepertinya tidak ada yang dapat menyamai kebahagiaan seperti apa yang sedang mereka rasakan, buah dari perkawinan dua insan yang saling menyinta.

O, ANICCA! Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dalam enam bulan mendatang. Waktu berdendang ria dari saat ke saat tidak pernah beristirahat terus berjalan mengikuti hukum alam, tiada yang dapat melarang dan menghalanginya. Tibalah saat yang dinantikan oleh sepasang suami istri ini, saat akan melahirkan bayi yang diharap membawa semarak dan kebahagiaan dalam bahtera rumah tangganya. Ibu Nangkom mulai merasakan sakit perut sebagai pertanda akan melahirkan, dengan dibantu sanak keluarga, pak Noy membawa istrinya ke rumah sakit di sebuah kota yang jaraknya cukup jauh dari desa tempat tinggalnya.

Dengan bantuan dokter dan para juru rawat, lahirlah bayi perempuan dengan selamat demikian pula ibunya. Setelah ibu dan bayinya dibersihkan, dokter bertanya kepada ibu Namkong; “Apakah ibu pernah berusaha minum obat untuk menggugurkan kandungan atau dengan usaha lain untuk menghancurkan benih yang saudara kandung?”

“Tidak pernah saya melakukan hal tersebut, dokter”, sahut ibu Namkong.

Kemudian dokter bertanya kepada pak Noy; “Apakah bapak pernah mengidap penyakit kelamin?” “Tidak, tidak pernah saya mengidap penyakit seperti itu, dokter”, jawab pak Noy.

Saudara-saudara, ada apa gerangan sehingga dokter bertanya demikian? Rupanya bayi yang baru lahir cacat sedangkan parasnya sangat menawan hati. Cacat bayi itu ada pada tangan dan kakinya, jari-jari kedua tangannya sebagian gepeng dan dempet seperti dipukul dan sebagian jari-jarinya yang lain laksana dipotong hampir putus, dan ada hal yang aneh lagi pada kedua kakinya sekitar mata kaki naik sedikit berbentuk seperti tanda-tanda diikat dengan tali dan semua ini dapat dilihat dengan jelas kelihatan nyata.

Suatu kejadian yang aneh dan mengherankan bagi saya, dulu saya tidak percaya akan hukum kamma dan akibatnya. Tetapi sekarang saya merasa takut akan akibat dari perbuatan-perbuatan buruk. Banyak kejadian-kejadian aneh lainnya yang telah saya jumpai dan alami sehingga sekarang saya percaya dan yakin tentang hukum kamma.

Dosa dan kedengkian yang telah diperbuat terhadap kera pada waktu itu kini teringat kembali. Dengan wajah yang sedih pak Noy berkata lirih; “Mengapa keadaan ini menimpa anak saya?”

Saudara-saudara sekalian cerita tentang keluarga pak Noy diatas itu merupakan kisah nyata, dan gadis kecil yang cantik kini berusia tujuh tahun, masih hidup dan tinggal bersama kedua orangtuanya pada alamat tersebut diatas, Ayahnya (pak Noy) sedang berusaha mencari uang untuk biaya operasi jari anaknya.

2 comments:

Anonymous said...

where you come from!

Karto Iskandar said...

I come from Indonesia. Thx to visit my blog.