Oleh : Phra Vongsin Labhiko
Pada sebuah Vihara di Bangkok, Wat Bubpharam, tinggallah di Vihara tersebut Phra Mahasiri (Phra = Bhikkhu). Beliau menceritakan sebuah pengalaman hidup yang beliau alami dan akan diceritakan di bawah ini :
Sejak beberapa tahun yang lalu, saya tinggal di Wat Bubpharam ini, terlihat seorang ibu hampir setiap hari datang ke vihara, ibu tersebut bernama Thanom, ada juga yang memanggilnya ibu Visakha nomor dua, karena jasa dan kebajikan yang selalu ia lakukan. Ia memiliki keyakinan yang kuat terhadap ajaran Agama Buddha, dan menghormat kepada para bhikkhu/ samanera. Bila dilihat dari ketekunannya tidak terlalu salah ia dikatakan sebagai upasika teladan, ia teguh dalam dhamma, sila dan dana. Dalam hal dana, tidak pernah lalai akan kebiasaan baik tersebut, ia selalu melaksanakannya. Setiap hari ia berdiri di depan rumahnya menanti para bhikkhu dan samanera yang melaksanakan pindapata (pindapata = berjalan untuk menerima persembahan dana dari umat, dengan membawa tempat makan). Setelah memberikan dana ia akan berjongkok dan beranjali satu kali kemudian memegang gelas yang berisi air putih, lalu diangkatnya ke atas kepala sambil bertekad (adhitthana) sesaat sebelum air tersebut dituang ke tanah. Bhante Mahasiri salah seorang bhikkhu diantara para bhikkhu yang berpindapata dan melewati rumah ibu tersebut, jika pagi hari ibu tersebut tidak terlihat, maka sore hari ia akan datang ke vihara.
Sebagai umat Buddha yang baik, ia mempunyai pengetahuan yang cukup tentang sila atau vinaya para bhikkhu dan samanera, sehingga dapat menempatkan diri dengan benar. Tingkah lakunya sopan santun, hormat kepada bhikkhu dan samanera. Bila ia akan bertanya kepada bhikkhu/ samanera, sebelumnya ia beranjali dan ia bertanya dengan kata-kata yang sopan, begitu pula ketika ia ditanya ia akan bersikap anjali. Tidak merasa lebih tinggi, sama atau merendahkan kepada para bhikkhu/ samanera. Kebiasaan seperti ini umumnya dimiliki oleh umat Buddhis di Thailand, merupakan adat istiadat yang baik.
Karena ia sering datang ke vihara, maka ia mengenal dengan baik para bhikkhu/ samanera seperti sanak keluarga, begitu pula bhikkhu/ samanera mengenal ia dengan baik. Ibu Thanom sering bertanya keperluan/ kebutuhan bhikkhu/ samanera, dia suka sekali menolong dengan sepenuh hati dan segenap kemampuannya.
Suatu hari menjelang sore dalam kesempatan yang baik ketika ibu Thanom bersama cucunya mengunjungi Bhante Mahasiri di kuti beliau. (kuti = tempat berteduh bagi bhikkhu dan samanera), untuk memberikan dana minuman berupa air jeruk, setelah kedua belah pihak bertutur sapa, dan kemudian Bhante Mahasiri bertanya kepada ibu Thanom : Bu, bolehkah saya bertanya ? Silakan acharn, ada apa gerangan yang ingin acharn tanyakan ? jawab ibu Thanom sambil beranjali. (acharn = kata ganti yang biasa dipakai umat di Thailand untuk memanggil para bhikkhu, juga bhikkhu dan samanera akan memanggil acharn kepada bhikkhu yang lebih tua. Acharn berasal dari kata Acariya = Guru). Bu, apa yang menyebabkan ibu sangat teguh dalam berbuat kebajikan misalnya berdana, teguh dalam memegang dan menjalankan sila, meditasi, mendengarkan dhamma dan menolong orang-orang atau binatang yang sedang mengalami penderitaan ? sebelum menjawab bu Thanom beranjali dan tersenyum (sudah menjadi sifatnya murah senyum). Bhante, kalau bhante ingin tahu dan memberi kesempatan kepada saya untuk mengungkapkan penyebab semua ini, dengan sepenuh hati saya akan membukakan segala peristiwa yang pernah terjadi.
Peristiwa-peristiwa yang akan saya ceritakan ini, dapat menimbulkan pemikiran bagi yang mendengar bahwa hal tersebut seperti sandiwara, tetapi peristiwa tersebutlah yang membuat saya teguh dalam ajaran Sang Buddha sampai sekarang ini. Saya telah mengalami sendiri peristiwa yang aneh sekali, ketika saya masih remaja ibu saya seringkali mengajarkan bahwa kita sebagai umat Buddha, kita harus selalu praktek sesuai dengan ajaran Sang Buddha, misalnya : memberikan dana kepada bhikkhu sangha/ samanera, mendengarkan dhamma dan berbuat kebaikan-kebaikan lainnya dengan kemampuan yang kita miliki. Tetapi saya tidak pernah berdana kepada para bhikkhu/ samanera karena saya merasa malu terhadap para bhikkhu/ samanera, terlebih malu lagi terhadap beliau yang berusia muda. Sejak kecil hingga remaja, saya tidak pernah berdana walaupun hanya satu kali. Ketiak saya berusia delapan belas tahun, ibu saya mengalami penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, saya dan sanak keluarga membawa ibu ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan namun tidak berapa hari kemudian ibu saya meninggal dunia. Pada suatu hari sebelum ibu saya meninggal, saya dipanggil oleh ibu, kemudian saya mendekati dan beliau berpesan kepada saya : “ Anakku yang kukasihi, ibu merasa tidak bisa bertahan lebih lama lagi berarti ibu akan meninggalkan kalian, ini adalah nasehatku yang terakhir, selagi engkau masih hidup berusahalah berdana dan selalu berbuat baik, dan kau hanya tinggal berdua dengan adikmu, ayahmu telah lama meninggal ketika kau berusia tiga tahun, oleh karena itu kembangkanlah rasa cinta kasih diantara kalian, hiduplah dengan rukun, saling membantu, jangan ribut diantara kalian berdua. Engkau harus tetap mengasihinya seperti ketika aku masih ada”. Dengan rasa segan dan hormat saya menyetujui pesan-pesan beliau termasuk pesan-pesan beliau dalam hal berdana, sebenarnya saya tidak mau dan tidak setuju berbuat demikian.
Ketika beliau sudah meninggal, upacara kematian pun berlangsung serta jenazah dikremasikan dengan bantuan sanak keluarga serta tetangga. Tetapi tentang berdana saya belum melaksanakannya.
Satu tahun kemudian saya sakit keras, suhu badan saya tinggi sekali hingga tak sadarkan diri. Adik perempuan saya serta sanak keluarga menganggap saya sudah meninggal, sepertinya saya sudah tidak bernafas lagi, mereka telah membeli peti mati untuk saya.
Bhante, pada waktu saya tak sadarkan diri, saya tidak tahu pergi kemana, di sebuah rumah saya bertemu dengan ibu saya. Rumah itu bersih dan bagus sekali, halamannya luas, ada kebun bunga yang berwarna warni, rumput-rumput hijau. Semuanya nampak indah sekali bagaikan istana raja yang berkuasa. Banyak orang yang tinggal di rumah tersebut, semuanya wanita dan wajah mereka cantik-cantik sekali. Bila dibandingkan dengan saya, kata orang termasuk cantik, saya ini tidak ada apa-apanya, perbandingannya jauh sekali bagaikan langit dan bumi, usia mereka diperkirakan antara 16-18 tahun. Diantara para wanita cantik itu ada yang wajahnya mirip sekali dengan ibu saya, tetapi wajahnya nampak lebih muda. Ketika saya sedang berpikir wanita itu mirip ibu saya tetapi mengapa tidak tua seperti dulu, wanita itu berkata : “Thanom engkau jangan ragu-ragu lagi, betul ini adalah saya yang menjadi ibumu dulu, marilah dekat dengan saya. Mendengar ibu memanggil begitu, hati saya sangat senang sekali, saya langsung berlari kemudian memeluk ibu, lalu kami berbincang-bincang bertanya tentang kebahagiaan dan keadaan-keadaan yang telah berlalu, ketika itu saya merasa lapar dan melihat buah-buahan yang bagus-bagus tersedia di atas piring, tentunya enak sekali bila dimakan.
Para wanita cantik mengambil buah-buahan tersebut untuk dimakan, saya merasa lapar dan ingin makan bersama mereka kemudian saya berpikir buah-buahan itu miliki ibu, saya sebagai anaknya tidak perlu meminta ijin untuk memakan buah-buahan tersebut, lalu tangan saya menjangkau untuk mengambil jeruk dari piring tersebut, tetapi anehnya jeruk itu menempel dengan kuat satu sama lain sehingga saya tidak berhasil mengambilnya, begitu pula ketika saya ingin mengambil pisang, hal yang sama terjadi lagi.
Ibu melihat kejadian itu dan beliau berkata : ”Thanom itu bukan milikmu, milikmu ada di dalam kamar itu, masuklah kalau engkau mau makan”. Saya memasuki kamar yang ditunjukkan oleh ibu, disana saya melihat sepiring nasi, seekor ikan kembung yang sudah digoreng serta dua setengah buah pisang. Spontan saya ingat ketika berusia sebelas tahun pernah memberikan dana satu kali, itupun terjadi karena waktu itu ibu tidak ada di rumah karena ada urusan di tempat jauh dan beliau harus bermalam disana. Ibu menyuruh saya untuk mewakili beliau memberikan dana pada pagi hari. Pisang yang dua setengah buah itu seharusnya diberikan tiga buah, karena saya menyimpannya tidak hati-hati, maka pisang tersebut sebagian digigit tikus dan saya memotongnya sebelum dipersembahkan sebagai dana.
Saya merasa sangat menyesal, sedih dan berkecil hati, dengan berlinang air mata saya menyesali diri, sudah berusia delapan belas tahun hampir menginjak usia sembilan belas tahun, baru mempersembahkan dana hanya satu kali itupun karena ibu tidak sempat. Saya menjadi orang yang lengah tidak patuh pada nasehat ibu, bahkan menjadi anak yang bandel dan sifat-sifat buruk lainnya, saya begitu menyesali diri dan mencela diri sendiri. Sebagian orang menanam jasa kebajikan, mereka mendapat buah dari berdana yang pernah mereka perbuat dan hasilnya begitu bagus dan menyenangkan. Tetapi saya hanya satu kali mempersembahkan dana sehingga apa yang saya peroleh seperti apa yang sekarang terjadi : sepiring nasi putih, seekor ikan kembung yang sudah digoreng dan dua setengah buah pisang. Saya sedih sekali, karena sangat lapar dan teramat letih, lalu saya makan dengan menunduk malu sekali pada wanita-wanita tersebut. Dan saya berjanji dalam hati, kalau saya pulang ke rumah nanti saya akan memberikan dana setiap hari sebanyak-banyaknya.
Setelah selesai makan saya menjumpai ibu, dan beliau berkata, “Thanom anakku, apakah engkau sudah melihat hasil dari persembahan danamu? Saya sudah berpesan engkau harus sering berdana berbuat kebajikan/ jasa-jasa lainnya, tetapi engkau tidak mau dan tidak mematuhi pesan saya. Nah ! mulai hari ini engkau jangan melalaikan dan melewatkan kesempatan yang baik, kamu beruntung masih memiliki kesempatan yang baik di alam manusia. Berbuatlah kebajikan dengan segenap kemampuanmu serta kesungguhan, hendaklah engkau berusaha berbuat baik sebanyak-banyaknya sampai akhir hayatmu. Perbuatan baik tidak pernah sia-sia, engkau telah menyaksikan sendiri akibat dari apa yang telah kita perbuat. Sekarang engkau pulanglah anakku, dan jangan lupa akan pesanku”.
Saya menyetujui pesan-pesan ibu dengan hati yang tulus ikhlas, ini merupakan yang pertama kali dalam hidup saya menerima semua nasehat ibu dengan ikhlas dan bertekad untuk melaksanakannya. Pesan-pesan ibu masih menggema di hati saya sampai sekarang ini. Kemudian datanglah pegawai yang menjemput, untuk mengantarkan saya kembali, lalu saya beranjali dan bernamaskara kepada ibu serta permisi untuk pulang.
Ketika saya siuman, perasaan sakit yang berat hilang semua, tidak usah minum obat lagi tetapi saya merasa amat haus. Saya meminta air kepada mereka yang menjaga saya, mereka menangis dengan rasa haru karena mengetahui saya telah sadar kembali, tidak meninggal dunia.
Bhante, saya tidak sadarkan diri selama satu hari satu malam, hal ini saya ketahui dari adik dan sanak keluarga saya, kemudian saya makan seperti biasa hingga akhirnya saya benar-benar sembuh.
Sejak saat itu sampai sekarang ini saya berusaha mempersembahkan dana setiap hari tidak pernah lalai/lupa, bila saya sedang sakit maka sya akan menyuruh anak atau cucu saya untuk mempersembahkan dana. Saya merasa senang dan beruntung dapat sembuh dari penyakit demam yang menyebabkan saya tidak sadarkan diri, sehingga saya masih memiliki kesempatan untuk berbuat baik. Dan saya menyukai perbuatan-perbuatan baik seperti berdana, melaksanakan sila, melaksanakan samadhi, sembahyang, suka datang ke vihara untuk mendengarkan dhamma ajaran Sang Buddha dan perasaan malu terhadap bhikkhu/ samanera sudah tidak ada lagi semenjak saya sembuh dari sakit itu.
Bhante, mungkin banyak orang yang akan berpikir bahwa saya tidak memakai akal sehat, mempercayai hal-hal tersebut dengan membabi buta atau pendapat lainnya, tetapi saya tidak menghiraukan pendapat mereka. Saya mempercayai kejadian yang saya alami itu dengan sungguh-sungguh dan tanpa keraguan di hati saya. Karena saya telah melihat kejadian di alam sana, dan saya menyaksikan sendiri buah dari perbuatan baik bagi mereka yang telah melaksanakannya, saya tidak akan bimbang dan goyah dalam berbuat baik apalgi meragukan akan kamma, saya yakin siapa yang berbuat baik akan memetik buah kebaikan yang pernah mereka tanam begitu pula bagi mereka yang berbuat buruk, maka mereka akan memetik buah dari akibat perbuatan buruknya.
Kini saya merasa puas hati dan bahagia karena saya telah melakukan kebajikan, sebagai bekal untuk menempuh kehidupan saya selanjutnya, saya tidak takut akan kematian, saya siap menerima kematian kapanpun datangnya.
Itulah cerita, pengalaman hidup Ibu Thanom atau Ibu Visakha nomor dua yang sangat percaya diri. Sekarang ia berusia lima puluh delapan tahun.
Saudara-saudara sekalian dalam Dhammapada, yamaka vagga ayat delapan belas, Sang Buddha bersabda : “Di dunia ini ia berbahagia, di dunia sana ia berbahagia; pelaku kebajikan berbahagia di kedua dunia itu. Ia akan berbahagia ketika berpikir, “aku telah berbuat bajik,” dan ia akan lebih berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia”.
Berkaitan dengan cerita di atas Bhante Mahasiri, memberikan wejangan : Perihal alam yang belum kita lihat baik itu surga maupun neraka, yang telah dijelaskan oleh Sang Buddha dan dicatat dalam Kitab Suci Tripitaka, dan beberapa hal dijelaskan pula oleh para bhikkhu yang telah mencapai tingkat Arahat, bahkan para bhikkhu masa sekarang ini pun mampu melihat alam-alam tersebut dengan kemampuan konsentrasi ketenangan tingkat tinggi (Jhana). Bukan dilihat dengan mata biasa yang masih banyak kilesa (kekotoran batin) dan Tanha (hasrat, keinginan) seperti kebanyakan manusia pada umumnya. Oleh sebab itu menyangkal akan kenyataan tersebut, untuk membuktikan marilah kita bersama-sama melatih samadhi sampai mencapai dibbacakkhu.
Saturday, November 29, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment