Tuesday, April 28, 2009
Monday, April 27, 2009
Kiat Memiliki Kepribadian Kreatif Dalam Bekerja
Tentu, kegiatan tersebut harus di support maksimal oleh organisasi secara manajerial, mengingat sasaran penting dari kegiatan tersebut adalah untuk meningkatkan semangat kerja, motivasi dan produktivitas serta orientasi karyawan tentang harapan dan cita-citanya dalam bekerja.
Namun sebaik apapun program pengembangan karyawan yang dilakukan organisasi, tanpa dibarengi dengan semangat ingin merubah diri dari karyawan itu sendiri, maka tentu program tersebut akan sia-sia tanpa makna dan tentu beban psikologi organisasi juga akan semakin berat. Oleh karena itu maka kita semua berharap karyawan bisa memiliki TOL (Totalitas, Orientasi dan Loyalitas) sebagai elemen untuk memberdayakan diri sekaligus memberdayakan organisasi. Tiga parameter standard karakter menilai output karyawan terhadap organisasi itulah yang amat diyakini sebagai pemicu utama karyawan berkembang atau tidak dalam organisasi/ lembaga.
Jika diurai sedemikian rupa, maka membentuk karakter yang memiliki semangat TOL tadi, paling tidak dalam diri karyawan harus memiliki sifat-sifat kepribadian kreatif di bawah ini, yaitu :
- Berfikir sekaligus bertindak
Seorang karyawan yang memiliki karakter positif buat dirinya maupun buat organisasi adalah karyawan yang memiliki kapasitas dan kemampuan mengorganisasikan pemikirannya menjadi suatu gagasan atau ide sekaligus mampu mengimplementasikan ide dan gagasan tersebut secara kongkrit. Pepatah yang mengatakan diam itu emas, adalah pepatah jadoel (jaman doloe) yang sudah tidak relevan lagi untuk didogmatiskan dalam komunitas aktivitas kelembagaan dalam perspektif kekinian. Sekarang diam itu ditinggalkan orang, tidak dilihat oleh pimpinan-termarjinalisasikan oleh lingkungan dan sebagainya. Yang dibutuhkan oleh organisasi / lembaga adalah orang yang mampu mengkomunikasikan sekaligus mempersepsikan ide dan gagasan pemikirannya secara baik kepada komunitas/ lingkungan organisasi apalagi kepada pimpinan. Namun demikian kemampuan berkomunikasi saja tidak cukup tanpa diimbangi oleh kemampuan berinteraksi dan bersosialisasi – terlebih-lebih mengaktualisasikan pemikirannya dan beradaptasi kepada lingkungan atau komunitas budaya dan psikologi organisasi tersebut. Inilah sebenarnya konsepsi human skill yang harus dimiliki oleh setiap karyawan.
- Penuh Imajinasi
Penuh imajinasi disini maksudnya adalah seorang karyawan haruslah inovatif dalam melakukan berbagai pekerjaan. Biasanya seorang karyawan yang inovatif, ia akan mampu mengestimasi dan memberikan argumentasi logis terhadap apa yang dilakukannya. Dengan demikian maka karyawan tersebut akan senantiasa selalu menakar substansi tentang apa yang dikerjakannya. Karyawan yang banyak melakukan imajinasi dalam berfikir dan melakukan pekerjaan, biasanya karyawan tersebut tidak akan terjebak pada rutinitas dan mengalami problem under presure and under intruction oleh pimpinan. Karyawan tersebut akan senantiasa kreatif dan memiliki jiwa petualangan alias tidak terkungkung pada problematik rutinitas pekerjaan. Justru ketika karyawan merasa di under presure karena volume dan tanggung jawab pekerjaan, disitulah momentum kesempatan atau investasi besar bagi karyawan untuk menunjukkan yang terbaik kepada organisasi. Sebab tidak semua karyawan diberikan beban atau volume yang sama mengenai pekerjaan dan tanggung jawabnya.
- Bersifat Ingin Tahu
Karyawan yang memiliki kepribadian kreatif adalah karyawan yang senantiasa selalu mencari informasi aktual terhadap perkembangan organisasi – termasuk masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi setiap saat. Walaupun organisasi atau lembaga tidak meminta pandangan karyawan tersebut terhadap dinamika dan problem yang dihadapi oleh organisasi, namun bagi karyawan, concern dan memiliki paradigma bergaining dalam melihat perspektif perkembangan organisasi, justru akan membuat karyawan semakin loyal terhadap organisasi. Ciri khusus yang melekat dalam diri karyawan tersebut adalah biasanya karyawan tersebut reaktif dan kritis, bukan hanya terhadap kebijakan-kebijakan yang ditelurkan lembaga, namun biasanya begitu responsif terhadap dinamika dan problem yang dihadapi lembaga. Justru seharusnya lembaga harus melihat positif potensi karyawan yang seperti itu. Inilah sebenarnya embrio sikap loyal karyawan terhadap organisasi atau lembaga. Maka oleh karena itu lembaga sebenarnya hanya perlu menyediakan sarana bagi upaya mengakomodasikan sifat kreatif karyawan tersebut ditempat atau wadah yang produktif.
- Berani mengambil resiko
Karyawan yang memiliki sifat kepribadian kreatif salah satunya adalah berani mengambil resiko. Setiap aktivitas, apapun bentuknya pasti memiliki resiko. Diam saja mengandung resiko, apalagi melakukan sesuatu. Karyawan yang kreatif adalah karyawan yang berani mengambil resiko atas pekerjaanya. Resiko disini adalah pilihan logis ketika pekerjaan tersebut memiliki konsekwensi-konsekwensi yang dapat mempengaruhi bukan cuma pribadinya namun penilaian personal oleh organisasi terlebih-lebih oleh pimpinan kepada karyawan tersebut. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan karyawan yang berani mengambil resiko adalah ketika dalam aktivitas pekerjaannya sehari-hari, setiap karyawan tidak terjebak pada ketentuan baku instruksi pimpinan. Namun karyawan melakukannya melalui improvisasi-improvisasi dengan tujuan mempermudah, memberikan nilai efisiensi dan efektifitas pekerjaan. Hal ini penting karena yang menguasai detail medan lapangan adalah karyawan itu sendiri. Bukan pimpinan. Dengan demikian karyawan tidak akan mengalami stagnasi, takut salah, dan akhirnya bersikap kaku (tidak luwes) dalam mengintepretasikan kebijakan pimpinan yang pada akhirnya menimbulkan konflik diantara karyawan dan pihak-pihak yang berkaitan dengan pekerjaan karyawan tersebut. Cuma yang perlu diingat barangkali resiko yang diambil haruslah tetap mengacu kepada pedoman baku tentang aturan dan prosedur yang ditempuh oleh lembaga. Berani mengambil resiko bukan berarti menabrak rambu-rambu dan aturan main, itu intinya.
- Suka tugas-tugas majemuk dan senang pengalaman baru
Karyawan yang memiliki kepribadian kreatif adalah karyawan yang senantiasa melakukan proses pembelajaran dan pemanfaatan dari setiap tugas yang diberikan oleh organisasi kepada karyawan. Setiap tugas jika diintepretasikan sebagai suatu upaya mendorong tumbuhnya proses pendewasaan diri, maka akan disikapi positif oleh karyawan dengan melakukan misalnya bertanya kepada orang lain yang lebih mengerti, melakukan studi komparatif dan terus melakukan evaluasi diri terhadap hasil yang dicapai. Tugas-tugas majemuk maksudnya adalah tugas yang diberikan oleh pimpinan diluar tugas-tugas rutin kesehariannya bekerja. Ciri umum yang biasanya dapat dilihat dari sikap karyawan yang memiliki sifat seperti ini adalah karyawan tersebut senantiasa “enjoy aja” dan menikmati tanggung jawabnya, tidak kelihatan depresi apalagi terbebani dengan tugas-tugasnya. Sebab karyawan tersebut berpandangan bahwa semua tugas-tugas tersebut adalah investasi buat dirinya dikemudian hari.
Kelima sifat tersebut diatas adalah hanya sedikit dari ciri yang melekat dari kepribadian kreatif seorang karyawan. Paling tidak eksistensi karyawan ketika memahami karakteristik kepribadiannya di tengah komunitas organisasi/ institusi tempat ia bekerja, ia dengan sedirinya akan berkeyakinan apakah “saya sebenarnya sudah atau belum memberikan kontribusi kepada organisasi”. Jika kita merasa sudah memberikan “sesuatu” kepada lembaga apakah kehadiran atau keberadaan saya “dirasakan” atau “diakui” oleh organisasi ?. Jangan-jangan kita sebagai karyawan, baru hanya merasakan kita hanya menggugurkan kewajiban saja, bekerja …dapat gaji, selesai atau hanya menjadi kelompok penggembira saja yang eksistensinya tidak diperhitungkan oleh komunitas tempat kita bekerja...
by Andi Trinanda
Monday, April 20, 2009
My New Bicycle
Malam sebelumnya,
Koko bobo ditemeni 'supermen'
besok koko mau potong rambut loh ...
juga mau dibeliin sepeda ama mama papa
tuh kan... supermen nya juga ikut seneng...
besok pagi ....
koko mandi,
yak, begini gaya mandi Koko Charlie
gaya mandi Tarzan.
Mama.... Koko mau sepeda yg ini...
papa... papa...
tuh....
cakep kan
smile....
tampak depan
close up dulu ah...
hmm....
spion kanan nya kurang ke samping deh
tin tin tin ....
minggir2 sepeda keren mau lewat
sepeda baru koko keren ya...
hi hi hi
makasih ya mama ...
makasih ya papa ...
Friday, April 17, 2009
Sunday, April 12, 2009
Friday, April 10, 2009
Tomato Story
A Jobless man applied for the position of 'office boy' at Microsoft.
The HR manager interviewed him then watched him cleaning the floor as a test.
'You are employed' he said. Give me your e-mail address and I'll send you the application to fill in, as well as date when you may start.
The man replied 'But I don't have a computer, neither an email'.
'I'm sorry', said the HR manager. If you don't have an email, that means you do not exist. And who doesn't exist, cannot have the job.'
The man left with no hope at all. He didn't know what to do, with only $10 in his pocket. He then decided to go to the supermarket and buy a 10Kg tomato crate.
He then sold the tomatoes in a door to door round. In less than two hours,
he succeeded to double his capital. He repeated the operation three times,
and returned home with $60.
The man realized that he can survive by this way, and started to go everyday earlier, and return late. Thus, his money doubled or tripled everyday.
Shortly, he bought a cart, then a truck, and then he had his own fleet of delivery vehicles.
5 years later, the man is one of the biggest food retailers in the US
He started to plan his family's future, and decided to have a life insurance.
He called an insurance broker, and chose a protection plan.
When the conversation was concluded the broker asked him his email.
The man replied,'I don't have an email.'
The broker answered curiously, 'You don't have an email, and yet have succeeded to build an empire. Can you imagine what you could have been if you had an e mail?!!' The man thought for a while and replied, 'Yes, I'd be an office boy at Microsoft!'
Moral of the story
Moral 1
Internet is not the solution to your life.
Moral 2
If you don't have Internet, but work hard, you can be a millionaire.
Moral 3
If you received this message by email,
you are closer to being an office boy/girl, than a millionaire..........
Friday, April 3, 2009
Bagaimana Pemimpin Membuat Balanced Scorecard
PEMIMPIN YANG MAMPU MENGEVALUASI GERAK DAN TRANSFORMASI
Pemimpin dan evaluasi
Dalam menangani gerak maju organisasi atau komunitasnya serta menangani transformasi, seorang pemimpin sering berhadapan dengan situasi dimana gerak dan transformasi tadi perlu didorong, dievaluasi atau diukur. Kebutuhan untuk mengarahkan kemajuan dan mengukur hal ini dapat datang dari permintaan pengikutnya, rekan sekerjanya, atau dari pihak lain yang terkait dengan pekerjaannya. Tanpa adanya suatu metode atau alat yang disepakati bersama maka masalah evaluasi dan pengukuran dengan mudah dapat menghasilkan berbagai konflik dan kerumitan-kerumitan.
Pertama, orang dapat mengukur hal-hal yang sebenarnya tidak merupakan hal utama. Misalnya, seringkali orang melakukan pelatihan atau pembinaan, namun mereka mengevaluasi secara mendalam hanya lokasi, makanan, fasilitas dan kegunaan pembinaan tadi. Mereka tidak mengukur kemajuan nyata yang diperoleh peserta dari hasil proses belajar tadi.
Kedua, orang dapat mengukur atau mengevaluasi hanya aspel-aspek tertentu dan melupakan aspek-aspek lain yang justru saling terkait. Di dalam dunia usaha dikenal istilah bottom line, artinya orang mengukur keberhasilan seseorang dalam kemampuan ia memberikan kontribusi pada laba bersih yang ada tertulis di garis yang terletak di bawah laporan rugi laba. Namun, pengukuran serupa ini menjadikan para manajer orang-orang yang ahli dalam memanipulasi data sehingga informasi yang keluar menyenangkan mereka yang mencari bottom line yang baik, namun diam-diam tersembunyi banyak bom waktu. Kasus Enron, Merc dan World Com merupakan bukti kegagalan sistem evaluasi yang matang.
Ketiga, orang sama sekali tidak mengevaluasi karena merasa evaluasi merupakan alat memperkuat kekuasaan yang ada atau alat untuk menjatuhkan orang tertentu. Maka, berdebatlah orang hanya untuk menentukan cara evaluasi yang baik. Sering juga setelah suatu alat dimiliki dan disepakati, terjadi perbedaan cara menafsirkan hasilnya. Contoh, suatu divisi rekruting di dalam suatu organisasi besar pada suatu tahun tertentu hanya berhasil mencapai 30 persen tenaga baru dibandingkan dengan hasil tahun sebelumnya. Bertepatan divisi ini dipimpin oleh seorang manajer baru. Maka orang mengevaluasi hal ini sebagai kegagalannya. Padahal, dapat juga dievaluasi bahwa orang ini justru menjadi filter yang baik dan melakukan screening yang baik bagi organisasinya dibandingkan dengan pendahulunya.
Berbagai cara telah ditawarkan orang untuk membuat suatu alat pengukuran dan evaluasi. Salah satu alat yang cocok untuk dunia nir laba dan sekaligus juga dunia perusahaan adalah Balanced Scorecard.
Mental Model dalam memahami Balanced Scorecard
Bila seseorang terbang dengan pesawat ringan yang dapat mengangkut 6 orang, maka ia berhadapan dengan berbagai hal dari mulai ia lepas landas sampai kembalinya ia mendarat kelak. Sepanjang perjalanan ada banyak perubahan yang terjadi. Arah angin, kekuatan angin, jumlah bahan bakar, ketepatan arah, ketinggian, tekanan udara, dan kondisi awak kapal serta penumpang tidak berhenti berubah.
Sangat berbahaya dan bodoh bila sepanjang jalan ia hanya memantau jumlah bahan bakarnya, padahal arah perjalanannya telah menyimpang. Juga sama bodohnya kalau ia hanya sibuk memperhatikan arah perjalanannya sehingga pesawat berada di arah yang tepat, namun ia melupakan faktor penting yaitu ketinggian terbang, dan tiba-tiba di depannya terdapat sebuah bukit yang tinggi dan curam.
Seorang pemimpin komunitas atau organisasi sama seperti seorang penerbang patut terus mendorong, memantau, mengevaluasi dan mengukur berbagai hal secara sekaligus. Itulah sebabnya di dalam sebuah cockpit pesawat terdapat sederetan alat indikator yang menunjukkan faktor-faktor penting yang berperan di dalam proses penerbangannya. Balanced Scorecard merupakan suatu metode yang membuat seorang pemimpin dengan cepat namun utuh dapat mengarahkan dan mengevaluasi gerak maju serta kecepatan transformasi organisasinya.
Bagaimana Cara Kerja dan Penyusunannya
Secara sederhana, Balanced Scorecard diciptakan setelah seorang ahli mencoba meneliti berbagai organisasi yang berhasil dan dan juga yang musnah. Ia tiba pada kesimpulan bahwa mereka yang musnah pada dasarnya bukan karena tidak mengukur atau mengevaluasi diri, namun mengukur secara salah atau memantau hanya faktor-faktor yang tidak penting. Lambat laun dari penelitian lebih lanjut ahli ini mendapatkan beberapa hal.
Pertama-tama, suatu organisasi atau komunitas yang berhasil melakukan evaluasi teratur. Mereka mengevaluasi apakah program dan kegiatan-kegiatannya menopang pencapaian visi dan misi mereka atau tidak.
Kedua, organisasi dan komunitas yang mampu bertahan dan berkembang serta mencapai visinya adalah organisasi dan komunitas yang memperhatikan dan mengembangkan empat aspek besar di dalam hidup mereka secara seimbang. Pengembangan hal itu terus menerus mereka evaluasi secara sengaja.
Dengan demikian pemimpin mereka menggerakan setiap orang untuk mampu memiliki perspektif ke empat jurusan secara simultan dan terus menerus.
Empat perspektif tadi adalah:
- perspektif keuangan, sumber atau asset/harta
- perspektif kemampuan dan kerapihan operasional
- perspektif pembelajaran/kualitas pengetahuan bersama
- perspektif kualitas hubungan dengan pihak-pihak terkait di luar organisasinya.
Bila ada organisasi atau komunitas yang memerlukan suatu aspek atau perspektif tambahan yang khas, menurut penemu metode ini, hal tadi dapat saja dimasukan walaupun teori Balanced Scorecard belum menemukan perspektif yang tidak dapat dimasukkan ke dalam keempat perspektif yang sudah ada tadi.
Setiap perspektif tadi harus dibuat ukuran-ukurannya dengan terlebih dulu mengacu kepada rumusan visi dan misi dari organisasinya. Jadi pertama-tama, setelah adanya visi dan misi, seorang pemimpin membuat sasaran yang harus dicapai di dalam tiap perspektif di atas. Contohnya: sebuah majalah di Asia memiliki visi agar menyuarakan masalah Asia secara Asia dan ditulis oleh orang Asia. Maka di dalam perspektif pembelajaran, mereka menyiapkan pelatihan berseri untuk stafnya agar mereka menguasai masalah-masalah Asia. Mereka juga mencari sekolah-sekolah jurnalis di Asia untuk mendapatkan pasokan tenaga editor yang merupakan orang Asia. Selanjutnya, sebagian staf dan operator lapangan mereka ditentukan datang dari Asia.
Setelah sasaran untuk setiap perspektif sudah dibuat, maka seorang pemimpin harus mendaftarkan faktor-faktor kunci yang akan mempengaruhi tercapainya atau luputnya sasaran tadi. Kembali pada contoh di atas, maka dalam perspektif pembelajaran, bila sasarannya adalah memiliki staf yang memahami budaya Asia dan pola pikir Asia, maka hal ini hanya tercapai bila staf mengenali beda budayanya dengan budaya lain. Tidak cukup hal ini terjadi bila staf adalah lahir dan tumbuh di budaya Asia saja, tanpa apresiasi dan upaya memahami budayanya secara nalar. Untuk mencapai hal itu maka sebagai salah factor kunci diperlukan proses belajar bersama dan proses belajar sendiri, baik tentang budaya Asia, maupun budaya yang bukan Asia.
Selanjutnya, setelah tiap perspektif memiliki sasaran dan daftar factor kunci yang mempengaruhinya, maka Balanced Scorecard dianggap telah terbentuk pada tingkat pertama.
Kini pemimpin tadi siap memasuki tingkat lebih kedua yang dalam. Ia dapat menggerakkan rekan-rekan dan pengikutnya untuk memetakan faktor-faktor apa yang mempengaruhi faktor-faktor kunci utama yang telah dipetakan di dalam tingkat pertama. Misalnya, pembelajaran dipengaruhi oleh pengetahuan tentang budaya Asia dan non Asia, factor apa yang akan mempengaruhi sukses pembelajaran tadi? Ternyata diskusi pada tingkat ini menghasilkan kesepakatan bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh adanya buku, majalah, kursus, film, dan diskusi bersama tentang Asia, baik yang disampaikan menyentuh nalar maupun emosi.
Selanjutnya orang masih dapat masuk ke tingkat yang lebih jauh sehingga setelah diulangi prosesnya beberapa kali dan melibatkan orang yang memahami faktor-faktor yang berbeda di tiap tingkat, akhir terbentuklah suatu peta hubungan causal tentang kinerja organisasi ini dan cara mentransformasinya serta cara mengukurnya.
Pengukuran
Bagaimana mengukurnya? Katakanlah bahwa dalam persepktif pembelajaran, seorang pemimpin menyadari bahwa stafnya perlu belajar tentang budaya Asia. Ia harus menjelaskan apa arti istilah "belajar." Bersama mereka ia harus tiba pada kesepakatan bagaimana mengukur keberhasilan belajar tentang Asia tadi. Misalnya, dapat ia tentukan bahwa seorang staf di majalahnya akan dapat menulis sebuah artikel tentang perbandingan masalah sosial di Asia versus di Barat dan artikel tadi diterima di majalah lain sebagai ukuran keberhasilan. Maka dalam Balanced Scorecard tingkat pertama, ukuran keberhasilan dalam perspektif pembelajaran misalnya adalah "80 persen staf menghasilkan 80 tulisan dengan karakteristik di atas yang diterima di majalah lain." ila target ini tercapai, ia dapat meningkatkannya di tahun kedua.
Bila pengukuran tadi disetujui, maka ia dapat masuk ketingkat ke dua. Ia dapat bertanya pada stafnya, apa faktor penyebab keberhasilan di atas? Mereka mungkin menjawab bahwa bila ada komputer notebook untuk tiap staf, bila ada kebebasan menulis 1 jam sehari, dan bila ada kesempatan berdiskusi 1 jam per minggu, maka tiap staf dalam setahun akan menghasilkan 1 artikel yang dipublikasikan di majalah lain. Maka target pada tingkat kedua yang sekaligus menjadi alat pengukuran adalah: adanya komputer Asus untuk tiap-tiap staf, digunakannya setiap jumat siang untuk diskusi dan setiap hari ada 5 lembar yang ditulis tentang Asia. Dalam pengukuran ditulis: 12 komputer dalam tahun 2002, 50 jam diskusi untuk duabelas orang, 50 jam menulis artikel.
Siapakah yang mengukur keberhasilan atau kegagalan? Di dalam Balanced Scorecard, tiap orang menentukan ukuran keberhasilannya, mengukur hasil kinerjanya sendiri dan menyampaikan hasilnya pada pihak yang terkait dengannya. Pimpinan puncak tinggal membaca di cockpitnya, indikator dari masing-masing perspektif pada tingkat pertama saja. Suatu indikator yang menghasilkan angka atau pengukuran kualitatif yang rendah dapat membuatnya meneliti hasil kinerja di tingkat yang kedua dan seterusnya, sampai beberapa faktor penyebab masalah dapat dikenali dan ditangani. Contoh hal ini tergambar di dalam skema di bawah ini.
Kesimpulan
Balanced Scorecard bukan hanya memberikan suatu kemungkinan bagi sang pemimpin mengukur kinerja, namun mengarahkan program setelah suatu scenario di buat dalam perencanaannya. Balanced Scorecard juga merupakan alat yang sangat menekankan budaya partisipasi bagi setiap anggota organisasi atau komunitas. Namun, alat ini juga memastikan bahwa semua program harus senantiasa hadir dan dikembangkan untuk menopang pencapaian visi dan misi organisasi atau komunitas.
Balance Scorecard
Idealnya setiap perusahaan memiliki manajemen strategis. Yakni bagaimana perusahaan dengan perencanaan, implementasi, dan pengendalian program mampu mencapai tujuan perusahaan. Misalnya bagaimana perusahaan mampu meraih posisi persaingan pasar secara bersinambung. Untuk itu maka perusahaan memiliki komponen-komponen visi, misi, dan tujuan; analisis kekuatan dan kelemahan perusahaan; beragam alternatif pendekatan strategis; dan komponen terakhir adalah pengembangan struktur organisasi dan sistem pengendalian program. Bagaimana hubungannya dengan model balanced scorecard?
Balanced scorecard (BSC) dicetuskan oleh Robert S.Kaplan dan David P. Norton di Harvard Business Review tahun 1992 berjudul “Balanced Scorecard-Measures that Drive Performance”. BSC merupakan sistem pengukuran kinerja perusahaan dilihat dari empat perspektif; finansial, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Indikator kinerja perspektif finansial atau keuangan adalah ukuran tertinggi kinerja keuangan yang dapat diberikan pada pemegang saham. Kemudian dalam hal perspektif pelanggan adalah berapa tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan dan besaran pangsa pasar. Sedang pada perspektif bisnis internal ukuran kinerja utamanya adalah mutu dan percepatan waktu proses bisnis internal dalam mendorong bisnis perusahaan. Sementara itu pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah kemampuan perusahaan memelihara dan mengembangkan kemampuannya untuk berubah dan memperbaiki proses. Atau keberhasilan karyawan dan infra struktur dalam mempengaruhi kinerja bisnis. Ditinjau dari BSC sebagai bagian dari manajemen strategis maka lantas bagaimana hubungan semua perspektif tersebut dengan sumberdaya manusia (SDM) perusahaan?
Sejak perspektif BSC diterapkan yakni pembelajaran dan pertumbuhan, SDM memegang peranan penting dalam mencapai keberhasilan strategi perusahaan. Gambarannya adalah peningkatan mutu SDM dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan mempengaruhi proses bisnis internal dalam bentuk peningkatan mutu dan siklus waktu proses. Peningkatan mutu proses bisnis internal akan mempengaruhi perspektif pelanggan dalam bentuk peningkatan kepuasan pelanggan. Pada gilirannya akan menciptakan loyalitas pelanggan yang tinggi sekaligus pangsa pasar semakin besar. Akibat dari keberhasilan perspektif pelanggan maka besaran penjualan semakin bertambah dan kemampulabaan juga demikian. Ini berarti bagian dari deviden yang diterima pemegang saham juga semakin meningkat.
Pemahaman tentang manajemen strategis menunjukkan bahwa empat perspektif pengukuran kinerja perusahaan merupakan hal yang seimbang dan terpadu. Sebaliknya kalau tidak seperti itu maka perusahaan cenderung potensial akan mengalami kegagalan dalam mencapai tujuannya. Pada prakteknya, David P. Norton (1996) dalam artikelnya The Balanced Scorecard:Translating Strategy Into Action, mengatakan bahwa sembilan dari 10 perusahaan gagal melaksanakan strateginya. Faktor penyebabnya terdiri dari hambatan visi, hambatan operasi, hambatan SDM, dan hambatan pembelajaran. Dari segi visi, hanya lima persen saja yang memahami strategi perusahaan. Kemudian sebanyak 60 persen perusahaan, penyusunan anggarannya tidak berhubungan dengan strategi. Sedang 85 persen dari tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari satu jam untuk membahas strategi setiap bulannya. Sementara itu hanya 25 persen manajer saja yang memiliki perhatian dengan strategi.
Jadi tergambarkan bahwa suatu keberhasilan perusahaan ditinjau dari kinerja empat perspektif tak mungkin tercapai tanpa campur tangan SDM. Setiap perspektif membutuhkan SDM yang bermutu. Lebih khusus, ditinjau dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, peran SDM lebih nyata lagi. Unsur kunci adalah mutu SDM (ketrampilan, sikap, moral, motivasi, dan kepuasan karyawan). Semakin baik manajer memberdayakan karyawannya semakin baik mutu SDM yang dihasilkan. Ukuran keberhasilan manajer ditunjukkan dengan retensi atau loyalitas karyawan dalam meningkatkan produktifitas kerjanya. Tentu saja ini diduga akan mempengaruhi kepuasan palanggan dan meningkatkan kepekaan karyawan terhadap preferensi pelanggan. Ukuran berikutnya adalah pendapatan perkaryawan dan laba perkaryawan semakin meningkat. Lantas patut diduga pula bahwa retensi karyawan akan dicerminkan oleh rendahnya jumlah karyawan yang keluar dari perusahaan. Atau dengan kata lain reit perputaran karyawan tergolong rendah.
Agar manajemen strategis bisa tercapai sesuai dengan tujuan maka ditinjau dari peran SDM, setiap karyawan (manajemen dan non-manajemen) harus memahami strategi perusahaan. Hal ini baru akan tercapai kalau tiap manajer mampu memberdayakan para karyawannya dalam meningkatkan mutu SDM dalam hal daya tanggap, kepekaan bisnis, ketrampilan teknis, ketrampilan manajerial, dan ketrampilan bekerjasama dalam satu tim. Selain itu pihak manajer sendiri harus menempatkan strategi perusahaan sebagai acuan dalam mencapai kinerja empat perspektif. Setiap karyawan didorong untuk membahas setiap program di tiap unitnya yang terkait dengan strategi perusahaan secara intensif dan berkelanjutan.