PEMIMPIN YANG MAMPU MENGEVALUASI GERAK DAN TRANSFORMASI
Pemimpin dan evaluasi
Dalam menangani gerak maju organisasi atau komunitasnya serta menangani transformasi, seorang pemimpin sering berhadapan dengan situasi dimana gerak dan transformasi tadi perlu didorong, dievaluasi atau diukur. Kebutuhan untuk mengarahkan kemajuan dan mengukur hal ini dapat datang dari permintaan pengikutnya, rekan sekerjanya, atau dari pihak lain yang terkait dengan pekerjaannya. Tanpa adanya suatu metode atau alat yang disepakati bersama maka masalah evaluasi dan pengukuran dengan mudah dapat menghasilkan berbagai konflik dan kerumitan-kerumitan.
Pertama, orang dapat mengukur hal-hal yang sebenarnya tidak merupakan hal utama. Misalnya, seringkali orang melakukan pelatihan atau pembinaan, namun mereka mengevaluasi secara mendalam hanya lokasi, makanan, fasilitas dan kegunaan pembinaan tadi. Mereka tidak mengukur kemajuan nyata yang diperoleh peserta dari hasil proses belajar tadi.
Kedua, orang dapat mengukur atau mengevaluasi hanya aspel-aspek tertentu dan melupakan aspek-aspek lain yang justru saling terkait. Di dalam dunia usaha dikenal istilah bottom line, artinya orang mengukur keberhasilan seseorang dalam kemampuan ia memberikan kontribusi pada laba bersih yang ada tertulis di garis yang terletak di bawah laporan rugi laba. Namun, pengukuran serupa ini menjadikan para manajer orang-orang yang ahli dalam memanipulasi data sehingga informasi yang keluar menyenangkan mereka yang mencari bottom line yang baik, namun diam-diam tersembunyi banyak bom waktu. Kasus Enron, Merc dan World Com merupakan bukti kegagalan sistem evaluasi yang matang.
Ketiga, orang sama sekali tidak mengevaluasi karena merasa evaluasi merupakan alat memperkuat kekuasaan yang ada atau alat untuk menjatuhkan orang tertentu. Maka, berdebatlah orang hanya untuk menentukan cara evaluasi yang baik. Sering juga setelah suatu alat dimiliki dan disepakati, terjadi perbedaan cara menafsirkan hasilnya. Contoh, suatu divisi rekruting di dalam suatu organisasi besar pada suatu tahun tertentu hanya berhasil mencapai 30 persen tenaga baru dibandingkan dengan hasil tahun sebelumnya. Bertepatan divisi ini dipimpin oleh seorang manajer baru. Maka orang mengevaluasi hal ini sebagai kegagalannya. Padahal, dapat juga dievaluasi bahwa orang ini justru menjadi filter yang baik dan melakukan screening yang baik bagi organisasinya dibandingkan dengan pendahulunya.
Berbagai cara telah ditawarkan orang untuk membuat suatu alat pengukuran dan evaluasi. Salah satu alat yang cocok untuk dunia nir laba dan sekaligus juga dunia perusahaan adalah Balanced Scorecard.
Mental Model dalam memahami Balanced Scorecard
Bila seseorang terbang dengan pesawat ringan yang dapat mengangkut 6 orang, maka ia berhadapan dengan berbagai hal dari mulai ia lepas landas sampai kembalinya ia mendarat kelak. Sepanjang perjalanan ada banyak perubahan yang terjadi. Arah angin, kekuatan angin, jumlah bahan bakar, ketepatan arah, ketinggian, tekanan udara, dan kondisi awak kapal serta penumpang tidak berhenti berubah.
Sangat berbahaya dan bodoh bila sepanjang jalan ia hanya memantau jumlah bahan bakarnya, padahal arah perjalanannya telah menyimpang. Juga sama bodohnya kalau ia hanya sibuk memperhatikan arah perjalanannya sehingga pesawat berada di arah yang tepat, namun ia melupakan faktor penting yaitu ketinggian terbang, dan tiba-tiba di depannya terdapat sebuah bukit yang tinggi dan curam.
Seorang pemimpin komunitas atau organisasi sama seperti seorang penerbang patut terus mendorong, memantau, mengevaluasi dan mengukur berbagai hal secara sekaligus. Itulah sebabnya di dalam sebuah cockpit pesawat terdapat sederetan alat indikator yang menunjukkan faktor-faktor penting yang berperan di dalam proses penerbangannya. Balanced Scorecard merupakan suatu metode yang membuat seorang pemimpin dengan cepat namun utuh dapat mengarahkan dan mengevaluasi gerak maju serta kecepatan transformasi organisasinya.
Bagaimana Cara Kerja dan Penyusunannya
Secara sederhana, Balanced Scorecard diciptakan setelah seorang ahli mencoba meneliti berbagai organisasi yang berhasil dan dan juga yang musnah. Ia tiba pada kesimpulan bahwa mereka yang musnah pada dasarnya bukan karena tidak mengukur atau mengevaluasi diri, namun mengukur secara salah atau memantau hanya faktor-faktor yang tidak penting. Lambat laun dari penelitian lebih lanjut ahli ini mendapatkan beberapa hal.
Pertama-tama, suatu organisasi atau komunitas yang berhasil melakukan evaluasi teratur. Mereka mengevaluasi apakah program dan kegiatan-kegiatannya menopang pencapaian visi dan misi mereka atau tidak.
Kedua, organisasi dan komunitas yang mampu bertahan dan berkembang serta mencapai visinya adalah organisasi dan komunitas yang memperhatikan dan mengembangkan empat aspek besar di dalam hidup mereka secara seimbang. Pengembangan hal itu terus menerus mereka evaluasi secara sengaja.
Dengan demikian pemimpin mereka menggerakan setiap orang untuk mampu memiliki perspektif ke empat jurusan secara simultan dan terus menerus.
Empat perspektif tadi adalah:
- perspektif keuangan, sumber atau asset/harta
- perspektif kemampuan dan kerapihan operasional
- perspektif pembelajaran/kualitas pengetahuan bersama
- perspektif kualitas hubungan dengan pihak-pihak terkait di luar organisasinya.
Bila ada organisasi atau komunitas yang memerlukan suatu aspek atau perspektif tambahan yang khas, menurut penemu metode ini, hal tadi dapat saja dimasukan walaupun teori Balanced Scorecard belum menemukan perspektif yang tidak dapat dimasukkan ke dalam keempat perspektif yang sudah ada tadi.
Setiap perspektif tadi harus dibuat ukuran-ukurannya dengan terlebih dulu mengacu kepada rumusan visi dan misi dari organisasinya. Jadi pertama-tama, setelah adanya visi dan misi, seorang pemimpin membuat sasaran yang harus dicapai di dalam tiap perspektif di atas. Contohnya: sebuah majalah di Asia memiliki visi agar menyuarakan masalah Asia secara Asia dan ditulis oleh orang Asia. Maka di dalam perspektif pembelajaran, mereka menyiapkan pelatihan berseri untuk stafnya agar mereka menguasai masalah-masalah Asia. Mereka juga mencari sekolah-sekolah jurnalis di Asia untuk mendapatkan pasokan tenaga editor yang merupakan orang Asia. Selanjutnya, sebagian staf dan operator lapangan mereka ditentukan datang dari Asia.
Setelah sasaran untuk setiap perspektif sudah dibuat, maka seorang pemimpin harus mendaftarkan faktor-faktor kunci yang akan mempengaruhi tercapainya atau luputnya sasaran tadi. Kembali pada contoh di atas, maka dalam perspektif pembelajaran, bila sasarannya adalah memiliki staf yang memahami budaya Asia dan pola pikir Asia, maka hal ini hanya tercapai bila staf mengenali beda budayanya dengan budaya lain. Tidak cukup hal ini terjadi bila staf adalah lahir dan tumbuh di budaya Asia saja, tanpa apresiasi dan upaya memahami budayanya secara nalar. Untuk mencapai hal itu maka sebagai salah factor kunci diperlukan proses belajar bersama dan proses belajar sendiri, baik tentang budaya Asia, maupun budaya yang bukan Asia.
Selanjutnya, setelah tiap perspektif memiliki sasaran dan daftar factor kunci yang mempengaruhinya, maka Balanced Scorecard dianggap telah terbentuk pada tingkat pertama.
Kini pemimpin tadi siap memasuki tingkat lebih kedua yang dalam. Ia dapat menggerakkan rekan-rekan dan pengikutnya untuk memetakan faktor-faktor apa yang mempengaruhi faktor-faktor kunci utama yang telah dipetakan di dalam tingkat pertama. Misalnya, pembelajaran dipengaruhi oleh pengetahuan tentang budaya Asia dan non Asia, factor apa yang akan mempengaruhi sukses pembelajaran tadi? Ternyata diskusi pada tingkat ini menghasilkan kesepakatan bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh adanya buku, majalah, kursus, film, dan diskusi bersama tentang Asia, baik yang disampaikan menyentuh nalar maupun emosi.
Selanjutnya orang masih dapat masuk ke tingkat yang lebih jauh sehingga setelah diulangi prosesnya beberapa kali dan melibatkan orang yang memahami faktor-faktor yang berbeda di tiap tingkat, akhir terbentuklah suatu peta hubungan causal tentang kinerja organisasi ini dan cara mentransformasinya serta cara mengukurnya.
Pengukuran
Bagaimana mengukurnya? Katakanlah bahwa dalam persepktif pembelajaran, seorang pemimpin menyadari bahwa stafnya perlu belajar tentang budaya Asia. Ia harus menjelaskan apa arti istilah "belajar." Bersama mereka ia harus tiba pada kesepakatan bagaimana mengukur keberhasilan belajar tentang Asia tadi. Misalnya, dapat ia tentukan bahwa seorang staf di majalahnya akan dapat menulis sebuah artikel tentang perbandingan masalah sosial di Asia versus di Barat dan artikel tadi diterima di majalah lain sebagai ukuran keberhasilan. Maka dalam Balanced Scorecard tingkat pertama, ukuran keberhasilan dalam perspektif pembelajaran misalnya adalah "80 persen staf menghasilkan 80 tulisan dengan karakteristik di atas yang diterima di majalah lain." ila target ini tercapai, ia dapat meningkatkannya di tahun kedua.
Bila pengukuran tadi disetujui, maka ia dapat masuk ketingkat ke dua. Ia dapat bertanya pada stafnya, apa faktor penyebab keberhasilan di atas? Mereka mungkin menjawab bahwa bila ada komputer notebook untuk tiap staf, bila ada kebebasan menulis 1 jam sehari, dan bila ada kesempatan berdiskusi 1 jam per minggu, maka tiap staf dalam setahun akan menghasilkan 1 artikel yang dipublikasikan di majalah lain. Maka target pada tingkat kedua yang sekaligus menjadi alat pengukuran adalah: adanya komputer Asus untuk tiap-tiap staf, digunakannya setiap jumat siang untuk diskusi dan setiap hari ada 5 lembar yang ditulis tentang Asia. Dalam pengukuran ditulis: 12 komputer dalam tahun 2002, 50 jam diskusi untuk duabelas orang, 50 jam menulis artikel.
Siapakah yang mengukur keberhasilan atau kegagalan? Di dalam Balanced Scorecard, tiap orang menentukan ukuran keberhasilannya, mengukur hasil kinerjanya sendiri dan menyampaikan hasilnya pada pihak yang terkait dengannya. Pimpinan puncak tinggal membaca di cockpitnya, indikator dari masing-masing perspektif pada tingkat pertama saja. Suatu indikator yang menghasilkan angka atau pengukuran kualitatif yang rendah dapat membuatnya meneliti hasil kinerja di tingkat yang kedua dan seterusnya, sampai beberapa faktor penyebab masalah dapat dikenali dan ditangani. Contoh hal ini tergambar di dalam skema di bawah ini.
Kesimpulan
Balanced Scorecard bukan hanya memberikan suatu kemungkinan bagi sang pemimpin mengukur kinerja, namun mengarahkan program setelah suatu scenario di buat dalam perencanaannya. Balanced Scorecard juga merupakan alat yang sangat menekankan budaya partisipasi bagi setiap anggota organisasi atau komunitas. Namun, alat ini juga memastikan bahwa semua program harus senantiasa hadir dan dikembangkan untuk menopang pencapaian visi dan misi organisasi atau komunitas.
No comments:
Post a Comment